BERBAGI INFORMASI,BERBAGI KECERIAAN DAN MOTIVASI DALAM MENGARUNGI KEHIDUPAN.
Laman
▼
Selasa, 11 September 2012
75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero ( I )
Ledalero Mulanya Bukit Angker (1)
Tanggal 20 Mei tahun ini Seminari Tinggi St. Paulus
Ledalero, seminari tinggi terbesar SVD sejagad dan salah satu seminari
tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia, merayakan ulang tahunnya
yang ke-75. Perayaan syukur untuk peristiwa penting ini dilaksanakan
bulan September ini. Inilah nukilan sejarahnya.
LEDALERO,
mulanya adalah sebuah bukit yang dianggap angker oleh penduduk, dijauhi
karena dipandang menjadi hunian roh-roh yang mudah tersinggung. Kini,
bukit ini memiliki daya tarik yang mengundang perhatian banyak pihak,
pemerintah dan masyarakat Indonesia, dan para anggota SVD dan
sahabat-sahabat mereka di berbagai negara.
Karena ribuan
alumninya yang tersebar di berbagai tempat sebagai imam misionaris dan
awam yang berkiprah di berbagai bidang, karena gagasan-gagasan yang
disumbangkan dari bukit ini untuk Gereja dan bangsa Indonesia, Ledalero
bukan lagi sebuah tempat terpencil dan tertutup. Semuanya ini bermula 75
tahun yang lalu. Apa yang terjadi waktu itu?
Pada tanggal 20
Mei 1937 Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero secara resmi/kanonis
didirikan. Pada hari itu, P. Wilhem Gier, pemimpin tertinggi Serikat
Sabda Allah (SVD) saat itu, mengeluarkan keputusan untuk mendirikan
sebuah rumah pendidikan para calon imam, biarawan misionaris SVD di
Ledalero. Keputusan itu dibuat berdasarkan izin yang diberikan oleh
Vatikan pada tanggal 5 Mei 1937.
Keputusan mendirikan seminari
tinggi Ledalero dimotivasi terutama oleh ensiklik Maximum Illud dari
Paus Benedictus XV pada tahun 1919. Ensiklik ini diterbitkan setahun
setelah berakhirnya Perang Dunia I. Menurut P. Frans Cornelissen yang
sangat berjasa dalam pendidikan para calon imam di Nusa Tenggara, aktor
intelektual di balik ensiklik ini adalah pemimpin Kongregasi Propaganda
Fide saat itu, Kardinal Willem van Rossum CSSR.
Gereja Katolik
yang waktu itu semata-mata mengandalkan para misionarisnya dari Barat,
harus mengalami kenyataan bahwa perubahan situasi politik tiba-tiba
dapat mempersulit pengiriman para misionaris ke berbagai tempat di
dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius perekrutan tenaga imam
dan biarawan dari wilayah-wilayah misi.
Di Indonesia,
terobosan yang lebih berani ke arah pendidikan para calon imam pribumi
dilakukan para Yesuit di Jawa. Dua orang dari angkatan pertama sekolah
pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah, menamatkan pendidikan gurunya
pada tahun 1911 dan melamar untuk menjadi imam.
Hanya seorang
yang kemudian meneruskan pendidikannya mulai tahun 1914 di Belanda dan
ditahbiskan imam tahun 1926. Pada tanggal 16 Juli 1915 Petrus
Darmaseputra dan Fransiscus Satiman diterima menjadi novis Yesuit di
Belanda. Pada tahun 1923 para Suster Fransiskanes dari Heythuisen
membuka novisiat mereka.
Itu berarti empat abad setelah
terjadinya penyebaran agama Katolik secara sistematis dan
berkesinambungan, barulah putera-puteri Indonesia dianggap pantas
menjadi imam dan biarawan/ti. Dibutuhkan waktu sekian lama, bukan karena
tidak ada orang Indonesia berniat menggabungkan diri, tetapi karena
orang masih menganut pandangan bahwa orang Indonesia asli tidak memiliki
bakat untuk menjalani kehidupan seperti ini.
Tanggapan atas
Maximum Illud di Nusa Tenggara diberikan oleh Mgr. Arnold Verstraelen
yang menugaskan P. Frans Cornelissen untuk memulai sebuah seminari
menengah. Menurut Mgr. Verstraelen, Vikariat Sunda Kecil yang pada waktu
itu telah memiliki lebih dari 100.000 orang Katolik, sudah perlu
mempunyai sebuah seminari.
Menurut pengakuan P. Cornelissen,
Mgr. Verstraelen memberikan penugasan kepadanya untuk mendirikan
seminari seminggu setelah dia tiba bersama tiga rekan dan tiga bruder
SVD di Ende. Mulanya dia hanya disuruh ke Sikka atau Lela. Kemudian
Uskup katakan, "Sudah ada begitu banyak orang Katolik di sini. Dan ada
juga ensiklik Bapa Suci yang mengajak para uskup misi untuk membuka
seminari.
Sudah ada juga beberapa orang muda yang telah
menyampaikan maksudnya akan menjadi imam. Maka kami berpendapat: Pater
bisa mulai dengan seminari itu". Frans Cornelissen memang memiliki
ijazah sebagai guru, dan sebelum berangkat ke Indonesia sudah diingatkan
oleh Pater J. Bouma yang menjadi rektor rumah misi Uden, bahwa sangat
mungkin dia akan ditugaskan untuk menjadi penilik sekolah.
Namun, dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang baru saja tiba
di Flores langsung diberi kepercayaan untuk memulai satu tugas yang
belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Uskup Verstraelen memang mempunyai
visi tentang Gereja Nusa Tenggara yang turut dipimpin oleh tenaga imam
pribumi. Namun, dia tidak mempunyai gambaran yang sangat jelas mengenai
bagaimana program pembinaan para calon pribumi itu harus dilaksanakan.
Kepada P. Cornelissen dia katakan, "Sudah pasti harus diberikan Latin,
bahasa Belanda dan Agama. Di samping itu bileh putuskan sendiri apa saja
yang perlu dan berguna. Engkau seorang guru, maka lebih tahu dari saya
mana yang perlu."
Berbekalkan kepercataan itu, Frans
Cornelissen memulai seminari pertama di Nusa Tenggara. Ide besar dengan
dampak sejarah yang panjang ternyata tidak dimulai dengan membangun
fasilitas serba lengkap. Orang tidak mulai dengan bangunan dan fasilitas
lain. Orang mulai dengan manusia.
Sejarah seminari di Nusa
Tenggara bermula pada tanggal 2 Februari tahun 1926 dengan menggunakan
pendopo pastoran Lela sebagai ruang kelas. P. Cornelissen mendampingi 6
siswa pertama wilayah di Flores dan Timor. Tiga setengah tahun kemudian,
pada tanggal 15 September 1929, seminari ini dipindahkan untuk
menempati rumah yang dirancang dan dibangun khusus untuk tujuan itu,
yakni di Todabelu-Mataloko.
Frans Cornelissen adalah tokoh
pendidikan, yang mempunyai prestasi besar bagi perkembangan pendidikan
pada umumnya di Flores, secara khusus pendidikan para calon imam.
Dia harus menghadapi banyak tantangan. Misalnya, pandangan sejumlah
misionaris tentang ketaklayakan orang-orang pribumi untuk menjadi imam,
dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam Gereja Katolik; persoalan
pembiayaan untuk lembaga pendidikan; bahasa Melayu yang masih kurang
dipahami oleh P. Cornelissen sendiri sebagai syarat untuk dapat
mendampingi secara efektif para seminaris. Kendati terdapat sejumlah
tantangan, pendidikam seminari tetap dijalankan. (Paul Budi
Kleden/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar