BERBAGI INFORMASI,BERBAGI KECERIAAN DAN MOTIVASI DALAM MENGARUNGI KEHIDUPAN.
Laman
▼
Selasa, 11 September 2012
75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero ( II )
Dititip di Rumah Tinggi
PADA tahun 1932, angkatan pertama seminari telah
menyelesaikan pendidikan menengahnya. Bagaimana selanjutnya? Gedung
khusus belum ada. Maka mereka pun dititipkan di rumah yang baru selesai
dibangun untuk para misionaris SVD di Mataloko, sebuah rumah bertingkat
yang karena itu disebut "Rumah Tinggi"
Namun, pertanyaan
paling mendasar adalah: apakah para lulusan itu menjadi calon imam
praja/diosesan atau SVD? P. Cornelissen mengajukan gagasan: sebaiknya
orang-orang pertama dari Nusa Tenggara ini diterima sebagai calon imam
SVD. Alasannya, waktu itu semua imam yang bekerja di wilayah ini adalah
anggota SVD.
Agar lebih tampak persamaan antara imam-imam
pribumi dan SVD, maka orang-orang pertama ini diterima sebagai calon
imam SVD. Perbedaan pribumi dan Barat tidak diperbesar lagi dengan
perbedaan imam praja dan religius. Maka, setelah setahun menanti, tujuh
orang angkatan pertama novis SVD diterima secara resmi dan memulai masa
novisiatnya pada tanggal 16 Oktober 1933.
Enam orang dari
angkatan ini kemudian mengikrarkan kaul pertama pada tanggal 17 Januari
1936. Saat itu mereka sudah cukup maju dalam studi, yang telah
dimulainya pada tahun 1932. P. Cornelissen, yang mendampingi para calon
ini sejak seminari menengah, mempunyai rasa bahagia dan bangga
tersendiri.
Karena para frater hanya dititipkan di "Rumah
Tinggi" di Mataloko, maka sejak tahun 1935 mulai dicari tempat baru
untuk sebagai seminari tinggi. PJ Bouma yang saat itu menjadi pemimpin
tertinggi SVD di wilayah ini, dibantu oleh PH Hermens dan PA Visser
mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Lembah Hokeng menjadi salah satu
alternatif yang cukup kuat. Namun, kecemasan akan malaria menjadi alasan
utama untuk mundur dari kemungkinan itu.
Akhirnya, dengan
persetujuan Raja Don Thomas Ximenes da Silva, ditetapkanlah Ledalero
sebagai tempat bagi seminari tinggi SVD. Ledalero, tempat sandar
matahari ini memang tempat ideal untuk sebuah seminari tinggi, karna
letaknya tidak jauh dari beberapa paroki besar seperti Nita dan Koting,
lagi pula cukup dekat dengan kota pelabuhan Maumere. Maka, pada tahun
1936 pembangunan beberapa gedung penting pun dimulai.
Setelah
mengeluarkan keputusan pendirian Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal
20 Mei 1937, pada tanggal 3 Juni, pemimpin tertinggi SVD memindahkan
novisiat dari Todabelu-Mataloko ke Ledalero, setelah mendapat
persetujuan dari Vatikan dua hari sebelumnya. Dengan ini, seminari
tinggi Ledalero sudah dapat dihuni secara resmi.
Rombongan
pertama yang tiba di Ledalero adalah dua novis, yakni Lukas Lusi dan
Niko Meak, didampingi pemimpin novisiat P. Jac. Koemeester. Lukas Lusi
kemudian menarik diri dari SVD dan menjadi imam praja Keuskupan Agung
Ende. Niko Meak kemudian meninggal dunia pada tanggal 30 November 1938
sebagai frater.
Tidak lama berselang, rombongan para frater
yang telah studi pun tiba. Di antaranya Gabriel Manek dan Karolus Kale
Bale, yang kemudian ditahbiskan sebagai dua imam pribumi pertama SVD
Indonesia pada tanggal 28 Januari 1941.
Saat rombongan para
novis dan frater tiba untuk pertama kalinya di Ledalero, mereka disambut
umat Nita dengan ucapan dalam bahasa Sikka: "He miu ata novisen mole
ata frater, mai baa deri ei Ledalero" yang artinya: hai para novis dan
frater, datanglah dan tinggallah di Ledalero. Pada saat awal itu, jumlah
calon imam sebanyak 16 orang: 5 orang frater mahasiswa teologi, 5 orang
frater mahasiswa filsafat, dan 6 orang novis.
Ungkapan orang
Nita di atas menunjukkan bahwa pendidikan calon imam dan biarawan
didukung sepenuhnya oleh umat. Umat menerima mereka dengan tangan
terbuka untuk mengambil bagian dalam hidup mereka, mengalami jatuh
bangun perjuangan hidup dan kegembiraan serta kebahagiaan.
Para biarawan calon imam tidak melayang di atas angin, tetapi mesti
berakar dalam kehidupan umat. Seminari, tempat persemaian panggilan
untuk menjadi imam dan biarawan bukan pertama-tama rumah yang dibangun
megah dengan aturan yang ketat, tetapi kehidupan umat di gubuk-gubuk
sederhana yang mengenal matahari sebagai satu-satunya jaminan ketetapan
ritme hidup. Jika rumah yang megah menumpulkan kepekaan para biarawan
dan calon imam untuk menangkap kegelisahan umat, dan ketatnya aturan
mengeraskan hati mereka untuk menanggapi persoalan masyarakat, maka
seminari sebenarnya gagal menjalankan perannya.
Berkat
keramahan dan keterbukaan umat untuk selalu membumikan panggilan para
biarawan dan calon imam, maka Ledalero, kendati harus menghadapi banyak
tantangan dan masalah, tetap menjadi rahim yang menghasilkan imam,
misionaris biarawan SVD yang diutus ke berbagai bangsa dan barisan
panjang para awam yang berkiprah pada beragam bidang kehidupan. Pada
tahun 1939 Ledalero mencatat 19 calon imam SVD.
Menurut
catatan Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik di Indonesia,
Jilid II, 1903-1942, dari 176 siswa di seminari menengah yang memulai
pendidikannya antara tahun 1926-1936, hanya 29 orang atau 16% menjadi
yang ditahbiskan imam. Kini, pada saat merayakan pesta 75 tahun,
seminari ini telah menghitung lebih dari 893 imam SVD sebagai alumninya,
di antaranya 10 orang uskup. Sebagian yang lainnya ditahbiskan sebagai
imam dalam beberapa tarekat religius lain atau imam praja dari sejumlah
keuskupan. Lebih dari separuh alumni adalah awam.
Tiga Periode Penting
Seminari ini telah melewati tiga periode penting dalam sejarahnya.
Periode pertama dapat disebut sebagai periode Seminari Belanda, yakni
dari awal berdiri sampai akhir tahun 1950-an.
Kenapa disebut
demikian? Karena kebanyakan staf dosennya adalah misionaris
berkebangsaan Belanda dan bahasa pengantar di komunitas adalah bahasa
Belanda. Dalam perkuliahan digunakan bahasa Latin.
Para frater
harus mengenakan jubah pada hampir setiap saat. Disiplin dan kerja
keras menjadi kata kunci. Tetapi juga kedekatan dengan umat sangat
diperhatikan baik oleh para dosen pun para frater. Generasi yang
dihasilkan dari periode dapat dilukiskan dengan kata-kata yang digunakan
P. Anton Pernia dalam suratnya mengenang alm. Mgr. Donatus Djagom, SVD.
"Gerenasi pertama SVD dari Indonesia dan Asia yang cerdas,
tangguh, sedikit individualis, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat.
Cerdas, serta memiliki komitmen religius yang kuat. (Paul Budi
Kleden/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar