
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas menikmati keindahan alam Bromo di Desa
Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, pertengahan November 2011.
Oleh: Idha Saraswati dan Amir Sodikin
Pegunungan Tengger dan Gunung Bromo tak hanya terkenal keindahan
lanskapnya. Budaya orang Tengger yang menghuni tempat itu sejak lama menjadi
”wisata” yang hidup. Salah satunya ritual Karo.
Pertengahan Oktober lalu, rangkaian ritual upacara Karo atau
upacara pawedalan jagad yang digelar setahun sekali itu dimulai. Gamelan
ketiplung mengiringi keberangkatan upacara penyucian pusaka tinggalan leluhur
Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, menuju tempat yang
dikeramatkan warga.
Dukun Ngadisari, Sutomo, memimpin sesepuh adat dan perangkat desa
berarak melewati gang-gang kampung. Pusaka keris, tombak, bahkan uang kuno
disucikan dalam ritual mandi kembang. Anak-anak hingga orang dewasa dengan
pakaian terbaiknya larut dalam prosesi.
Upacara Karo merupakan persembahan korban bagi arwah leluhur, baik
leluhur keluarga dekat maupun leluhur pendiri Tengger. Para leluhur yang sudah
didewatakan ini bersemayam di Kawah Bromo. Ritual utama adalah upacara tekaning
ping pitu, yaitu memanggil arwah leluhur agar pulang ke rumah. Upacara ini bisa
berlangsung dua pekan.
Namun, hari raya Karo tak hanya untuk para leluhur. ”Upacara itu
pada dasarnya upacara pawedalan jagad, kami memperingati lahirnya jagat. Disebut
upacara Karo karena upacara ini dilaksanakan pada bulan Karo menurut kalender
Tengger,” kata Sutomo.
Bagi masyarakat Tengger, alam sekitar, termasuk Gunung Bromo,
penting diperhatikan. Sikap baik terhadap alam merupakan bagian dari
kepercayaan mereka.
Ada tiga hal yang diperhatikan. ”Pertama pasti Sang Hyang Widi
bersama manifestasinya, yaitu para dewa dan batara. Kedua leluhur. Ketiga
leluhur ngaluhur atau leluhur Tengger,” katanya.
Di lereng Tengger itulah alam semesta diperingati berbarengan
dengan penghormatan kepada leluhur. Mereka meyakini upacara itu juga terkait
penghormatan kepada gunung, seperti halnya Kasada yang merupakan upacara
mempersembahkan korban secara langsung kepada gunung.
Kurang dikenal
Walau Karo tak sebesar Kasada, upacara ini disebut-sebut sangat
penting. Sebab, menjadi indikator apakah seseorang masih menjadi orang Tengger
atau tidak. Namun, upacara ini masih asing di telinga wisatawan.
Bagi warga Tengger, Karo merupakan hari raya yang dinanti.
Kemeriahannya mirip Lebaran bagi umat Islam. Saat Karo-lah pintu warga terbuka
untuk siapa saja, saling mengunjungi dan menjamu. Tak hanya menjamu tetangga
dan sanak saudara, tetapi juga menjamu arwah leluhur yang dipanggil pulang.
”Pada hari Karo kami berkeliling makan di semua rumah warga. Ini
tradisi lama. Para tamu yang lewat pun kami tawari mampir. Bukan basa-basi, itu
sudah adatnya,” kata Moyo, warga Jetak.
Perkataan Moyo bukan isapan jempol. Keramahan warga membuat
wisatawan selalu ingin datang menyaksikan Karo. Namun, konsep wisata budaya,
yang mengandalkan tradisi dan keramahan warga, ini tak bersentuhan langsung
dengan industri wisata. Berbeda dengan desa-desa lebih di atas gunung yang
terlibat langsung dalam industri wisata pesona alam Bromo yang lebih komersial,
yang semua dihitung dengan rupiah.
Andalkan alam
Budaya dan ritual Tengger sendiri masih kalah pamor dibandingkan
di Bali. Seorang wisatawan muda asal Belanda, Ghonick, mengatakan ke Bromo
karena ingin melihat keindahan matahari terbit dan pemandangan pegunungan yang indah.
Berangkat dari Desa Ngadisari, napas Ghonick tersengal- sengal
saat tiba di puncak Penanjakan II di Pegunungan Tengger. Penuh semangat, ia
mengabadikan matahari terbit di atas kaldera Bromo.
Selain keindahan alam, Ghonick juga mengaku tak banyak tahu
informasi lain tentang Bromo. Berbagai adat dan ritual masyarakat Tengger tak
ada dalam referensinya. Tak seperti nama Bali yang di benaknya merupakan
gabungan antara atraksi budaya dan pesona alam.
Pelaku industri wisata Jawa Timur, Haryono Gondosoewito,
menuturkan, sejauh ini industri wisata lebih menjual pesona alam Bromo, seperti
kaldera Bromo dan keindahan matahari terbit di Puncak Penanjakan. Brosur-brosur
wisata bahkan menyebut matahari terbit di Bromo sebagai salah satu dari tiga
momen matahari terbit terindah di dunia. Dari Penanjakan itu, wisatawan bisa
melihat puncak Gunung Batur, Kawah Gunung Bromo, dan puncak Gunung Semeru di
kejauhan.
Lanskap Tengger-Bromo memang memanjakan mata dengan beragam
keindahan. Begitu mobil gardan ganda memasuki kawasan Bromo, perbukitan
berselimut ilalang hijau segera menyegarkan mata. Gelombang perbukitan
”berkarpet” hijau itu terkenal sebagai
Bukit Teletubbies. Mengemudi lebih jauh terhampar lautan pasir.
Embusan angin gunung mengukir pola unik di atas pasir. Dari lautan pasir ini,
ada jalur pendakian ke kawah Bromo.
Berbagai kendala
Pelaku wisata kesulitan mengangkat potensi lain di Bromo, termasuk
budaya, karena menilai pasarnya lemah. Memang ada turis yang tertarik menyelami
budaya, yang biasanya berasal dari Eropa. Namun, jumlahnya tak signifikan.
Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan kawasan Bromo juga
dinilai kurang maksimal karena ada tiga kabupaten yang berkepentingan terhadap
kawasan wisata itu. ”Membuat satu kebijakan saja jadi sulit karena harus atas persetujuan
tiga kabupaten,” kata Haryono, yang juga mantan Ketua Asosiasi Perusahaan
Perjalanan Wisata Indonesia (Asita).
Selain itu, warga sepertinya juga belum siap menerima wisatawan.
Tarif penginapan, misalnya, sering ditawarkan tanpa standar. Anna dan Ben,
turis dari Jerman, misalnya, mengaku merasa tertipu. Mereka membayar hotel
lebih mahal dibandingkan tarif normal. ”Kami malam sampai di Bromo, jadi yang
penting dapat kamar. Ternyata setelah kami bandingkan harganya, kami membayar
lebih mahal,” ujar Anna.
Pengunjung dilarang bermobil ke area wisata. Pilihannya, jalan
kaki atau menyewa kuda, sepeda motor, atau jip.
Untuk membujuk wisatawan memakai jasanya, operator alat
transportasi kerap menyampaikan informasi menyesatkan. Hal itu misalnya
mengatakan, jarak ke suatu lokasi sangat jauh dan sulit dijangkau kendaraan
pribadi sehingga perlu menyewa kendaraan. Terkadang dengan tarif mahal. Harga
sewa jip selama 30 menit perjalanan pulang-pergi Rp 300.000.
Bagaimanapun keadaannya, Bromo magnet wisata Jawa Timur. Haryono
mengatakan, dalam ajang tahunan Majapahit Travel Fair, pelaku wisata Jatim
berupaya mengenalkan destinasi baru kepada biro wisata dari berbagai negara.
Namun, agen perjalanan dari berbagai negara selalu meminta ke Bromo.
Sayangnya, andalan di Bromo hanya pemandangan. Keramahan dan keunikan
budaya luput dari perhatian.Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar