KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas berusaha menyeberangi bekas aliran lahar
di lereng Gunung Semeru yang curam di ketinggian 3.002 meter di atas permukaan
laut saat mencari Arca Kembar atau Arcopodo, 17 November 2011. Arca yang
sebelumnya dikabarkan hilang tersebut ditemukan di lereng Gunung Semeru,
Lumajang, Jawa Timur.
Oleh Ahmad Arif dan Indira Permanasari
Dua arca batu itu berdiri berdampingan dalam senyap hutan di
ketinggian 3.002 meter di atas permukaan laut. Keduanya menghadap ke utara
sehingga pandangan mata setiap orang yang menatapnya akan mengarah ke Mahameru.
Inilah Arcopodo, arca pemujaan tertinggi di Pulau Jawa yang pernah dikabarkan
hilang.
Arca yang awalnya dianggap sebagai dongeng itu ”ditemukan”
mendiang Norman Edwin dan Herman O Lantang dari Mapala Universitas Indonesia
pada 1984.
Dua tahun kemudian, Norman kembali mendatangi dua arca itu dan
menuliskan temuannya di majalah Swara Alam, ”Arca ini sulit dikenali karena
kepala dan separuh badannya hilang.”
Semenjak itu, keberadaan kedua arca itu tak pernah lagi diketahui.
Herman, yang mencoba mencari kembali dua arca ini dalam pendakian tahun 1999,
gagal menemukan. ”Di jalur menuju tempat arca itu, saya mendapati jurang pasir
yang dalam dan sulit diseberangi. Ketika itu saya sampai jatuh ke dalam jurang
sehingga saya memutuskan tidak mengunjungi arca itu,” tulis Herman dalam buku
Soe Hok-Gie: Sekali Lagi, 2009.
Pos pendakian Arcopodo (2.903 mdpl) sebenarnya masih ada hingga
kini dan relatif mudah dicapai dari Pos Kalimati (2.698 mdpl). Namun, Pos
Arcopodo yang dikenal sebagai titik pemberhentian sebelum ke puncak Semeru ini
hanya berupa dataran seluas sekitar 20 meter persegi, dikelilingi pepohonan dan
belasan prasasti untuk menghormati pendaki yang meninggal.
Dulu, prasasti untuk menghormati tokoh pergerakan mahasiswa, Soe
Hok-Gie, dan rekannya, Idhan Lubis, juga ditempatkan di sini. Namun, tahun
2002, prasasti dua pendaki yang meninggal di Semeru pada 16 Desember 1969 ini
dipindahkan ke puncak.
Para pendaki yang mencari dua arca di Pos Arcopodo pasti akan
kecele. Itulah yang menyebabkan banyak orang mengira arca itu hilang atau
dipindahkan.
Awalnya, kami juga ragu dengan keberadaan Arcopodo. Namun, Ningot
S, anggota Search and Rescue (SAR) Lumajang yang memandu perjalanan,
mengisahkan, sekitar tiga tahun lalu dia menemukan dua arca saat mencari
pendaki yang hilang. Ningot menyebutkan ciri-cirinya, seperti digambarkan
Norman dalam tulisannya. ”Satu arca kepalanya hilang, seperti dipenggal,” kata
Ningot.
Jalur tersembunyi
Pagi itu, kami baru saja turun dari Mahameru (puncak Gunung
Semeru). Kaki masih berat melangkah, napas pun tersengal. Namun, keinginan
untuk menemukan kembali Arcopodo mengalahkan segenap rasa penat.
Setelah rehat sejenak di Pos Arcopodo, kami kembali merangkak naik
ke arah puncak. Menjelang batas vegetasi (3.092 mdpl), kami menyimpang ke arah
timur. Di depan membentang lembah, bekas aliran lahar yang rapuh. Lembah itu
menyempit ke Mahameru yang menjulang angkuh, sementara sekitar 20 meter ke arah
bawah, jurang dalam nyaris tegak lurus menjadi muara. Kami harus membuat
takikan dengan tongkat sebelum menjejak tanah rapuh itu agar tidak tergelincir.
Melewati satu halangan, lembah lain yang lebih curam menghadang.
Tenaga di titik nadir, tetapi melalui jalur yang sama, nyaris tak mungkin.
Satu-satunya jalan maju harus merangkak di bawah rimbun pohon cemara, menyusuri
punggungan tebing tipis. Ketika melihat ke bawah, tiba-tiba kami dikejutkan pemandangan
sepasang sepatu yang ditinggalkan persis di tubir jurang. Dua sepatu yang
terlihat mulus itu seperti sengaja diletakkan. Rasanya tidak mungkin ada
pendaki yang meninggalkan sepatu di tengah medan seperti ini. Kami menyeru
beberapa kali, tetapi tak ada sahutan.
”Ini jalur orang tersesat. Korban biasanya hilang di sekitar sini
ketika turun dari puncak. Dia berjalan menyimpang, menuruni lembah ini,” kata
Ningot.
”Begitu sampai di lembah ini, pendaki yang kelelahan biasanya
sudah putus asa dan sulit mencari jalan kembali. Padahal, di bawah jurang
sangat curam, yang terkenal adalah Blank 75,” Ningot mengisahkan.
Namun, siapa orang yang meninggalkan sepatunya itu? ”Pulang nanti
saya akan kembali mengajak teman untuk menyelidiki sepatu ini. Kami harus
membawa tali-tali dan peralatan pemanjatan tebing untuk mendekat ke jurang
itu,” kata Ningot.
Melalui dua lembah lagi, perjalanan berujung ke punggungan tebing.
Di rerimbunan pohon cemara, dua arca batu itu berdiri. Selain atap seng yang
keropos, dan lantai keramik yang mengalasi, dua arca itu terlihat masih sama
seperti yang dipotret almarhum Norman.
Dua arca itu rupanya tetap di tempatnya sejak dulu. Namun, Pos
Arcopodo yang populer dilalui pendaki ke puncak Semeru yang rupanya
dipindahkan. ”Dulu jalan pendakian itu melewati dua arca itu. Sekitar tahun
1979, jalurnya berubah dan tak lagi melewatinya,” kata Sumarto (58), Pemangku
Pura Mandaragiri di Senduro, Lumajang.
Sumarto tak mau mengungkapkan alasan pemindahan jalur itu. Jalur menuju
Arcopodo itu memang seperti jalan rahasia yang dijaga alam dan para pemujanya.Sumber : kompas.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar