BERBAGI INFORMASI,BERBAGI KECERIAAN DAN MOTIVASI DALAM MENGARUNGI KEHIDUPAN.
Laman
▼
Selasa, 11 September 2012
75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero ( IV)
Gempa Mengubah Pola Hidup
Mulanya mahasiswa STFK adalah calon imam SVD dan para
calon imam praja dari keuskupan-keuskupan se-Nusa Tenggara serta atau
mantan calon imam dari kedua kelompok tersebut.
Kemudian, para
calon Karmel, Trapist (OCSO), Scallabrinian, Rogationist, Vocationist,
Camelian, Stigmata, Somasca (CRS), MSSCC pun menjalani studinya di
Ledalero. Demikian pun beberapa tarekat perempuan seperti SSpS dan CIJ
mengutus para susternya belajar di lembaga ini. Pada tahun 1990, para
calon imam praja Keuskupan Atambua, Kupang dan Sumba pindah ke Kupang.
Karena penambahan jumlah biara yang mengirim para calonnya dan karena
keterbukaan STFK menerima mahasiswa yang sama sekali bukan calon,
termasuk perempuan, sebagai mahasiswa, maka jumlah mahasiswa tidak
berkurang, malah selalu bertambah. Pada awal tahun kuliah 2012/2013
berjumlah 846 orang, yang didampingi oleh 41 orang dosen.
Sebagai lembaga ilmiah yang diakui, STFK Ledalero berurusan dengan
kementrian pendidikan nasional. Standar yang harus dipenuhi diturunkan
oleh pemerintah. Berbagai laporan mesti dikirim ke instansi-instansi
pemerintah. Secara berkala sekolah ini didatangi oleh tim yang
memberikan penilaian mengenai kualitas pendidikan.
Pekerjaan
administrasi memang terkesan menumpuk, dan orang bisa bertanya mengenai
kegunaannya. Namun, semua ini pun serentak harus dilaksanakan agar tetap
diakui sebagai lembaga publik yang berhak mengeluarkan ijazah yang
diakui oleh negara. STFK bersyukur bahwa sudah ada dua orang dosennya
diberi gelar profesor dan sejumlah lainnya mendapat jabatan akademis
pada berbagai tingkatan.
Selain persoalan ijazah, pengakuan
negara pun memungkinkan STFK Ledalero berada dalam jalinan kerjasama
dengan berbagai perguruan tinggi lain. Para mahasiswa STFK semakin
terlibat dalam jejaring dengan para mahasiswa dari kampus lain. Jejaring
ini membantu memperluas wawasan para mahasiswa STFK Ledalero yang
sehari-hari menekuni bidang teologi dan filsafat dan sejumlah ilmu
penunjang. Mereka diasah untuk terlibat dalam diskursus mengenai
berbagai masalah dengan rekan-rekan mahasiswa dari perguruan tinggi
lain.
Pengakuan negara ditunjukkan pula dengan kunjungan para
pejabat negara dan tokoh nasional. Salah satu kunjungan yang
meninggalkan kesan yang mendalam adalah kunjungan dari Bapak Abdurrahman
Wahid, mantan Presiden Indonesia pada tanggal 6 dan 7 Februari 2004.
Untuk pertama kalinya seorang tokoh Islam yang disegani dan mantan
Presiden Indonesia menginap semalam di Ledalero. Penampilan beliau yang
buta namun mempunyai cakrawala pengetahuan yang luas dan kedalaman
spiritualitas yang kaya meninggalkan kesan yang mendalam bagi seluruh
civitas akademica STFK Ledalero.
Pada penghujung tahun 1992, nama Ledalero kembali sering didengar atau
dibaca para sahabat SVD. Alasannya, pada tanggal 12 Desember jam 13.30
terjadi gempa tektonis berskala 6, 2 Richter yang disusul tsunami di
sebagian besar pulau Flores dan sekitarnya.
Patahan
Austronesia menimbulkan goncangan yang hebat dan gelombang pasang yang
menyeret banyak warga Flores. Para penghuni Ledalero yang mulai
beristirahat siang selepas makan siang, berhamburan ke luar kamar.
Ledalero kehilangan dua sama saudara dalam bencana alam tersebut.
Hampir semua bangunan di Seminari Ledalero hancur. 19.800 m2 dari total
39.600 m2 rusak total. Untuk sementara para penghuni Ledalero mendiami
barak-barak. Karena kesulitan besar untuk mengatur makanan dan atap bagi
ratusan penghuni, para frater untuk sementara dipulangkan ke rumah.
Sebagiannya diberi pekerjaan untuk mendata kerusakan dan korban di
berbagai pelosok Flores.
Sementara itu, bantuan cepat mengalir.
Jaringan SVD sejagad sangat bermanfaat pada kesempatan ini. Pimpinan
tertinggi SVD segera menggalang bantuan. Juga di dalam negeri bantuan
berdatangan. Berkat uluran kebaikan berbagai pihak, perlahan kehidupan
di Ledalero dimulai lagi, walau dalam bentuk yang lain.
Gempa
yang menghancurkan bangunan-bangunan, memaksa para penghuni Ledalero dan
pimpinan SVD untuk memikirkan pola hunian dan metode pembinaan yang
terbaik. Alternatif yang dimunculkan waktu itu antara lain, memindahkan
rumah formasi dari Ledalero ke tempat lain yang dipandang lebih bebas
dari ancaman gempa. Namun, umat yang telah membagi suka dan dukanya
bersama seminari sekian puluh tahun, tidak boleh ditinggalkan sendirian.
Justru ketika ancaman atas kehidupan menjadi demikian riil,
kita harus memutuskan untuk tinggal bersama mereka. Maka, ditetapkan
bahwa seminari tidak dipindahkan, hanya dicari model yang baru.
Yang dimaksudkan dengan model baru adalah pembagian para frater dalam
unit-unit hunian yang lebih kecil. Para frater dibagi dalam 8 unit.
Sebagian unit dapat menempati gedung yang masing-masing tersisa dari
gempa, sebagian lain harus dibangun baru.
Setiap unit memiliki
kamar makan, dapur dan ruang doa tersendiri. Dua anggota SVD berkaul
kekal tinggal di setiap unit sebagai pendamping para frater. Dengan
kesatuan tempat hunian yang lebih kecil, para frater harus lebih banyak
mengambil tanggungjawab dalam mengatur hidup harian. Belanja dan
sebagian tugas memasak ditangani para frater sendiri.
Hal ini
berlangsung beberapa tahun, kemudian dibatalkan lagi. Kini diterapkan
kembali untuk menerapkan lagi sistem yang sama, di mana para frater
sendiri mengelola uang belanja makanan dan bertugas memasak sekali dalam
sehari. Tiga hari dalam seminggu dua orang Frater dari setiap unit
harus bangun pagi-pagi dan berangkat ke Maumere, membeli ikan dan sayur
segar yang diperlukan untuk dua hari.
Gedung yang paling akhir
dibangun adalah gedung-gedung kuliah dan kapela seminari. Selama 9
tahun kegiatan perkuliahan terjadi di barak-barak. Ada angkatan imam
Ledalero yang menghabiskan seluruh masa studinya dalam barak-barak
tersebut. Banyak pengalaman lucu dapat dikisahkan mengenai perkuliahan
di tempat seperti itu.
Karena dinding ruangan yang terbuat
dari bambu, suara seorang dosen dapat didengar dan dimengerti lebih di
berbagai ruangan, kendati di ruangan lain tersebut mereka sedang
berhadapan dengan seorang dosen lain. Lelucon yang dikisahkan seorang
dosen mengundang tertawa mahasiswa dari semua kelas. Situasi ini
berlangsung sampai tahun 2001, ketika gedung perkuliahan STFK seluruhnya
dibangun baru. Dan kapela Seminari diresmikan pada tanggal 12 Desember
2002, tepat sepuluh tahun setelah gempa.
Tantangan ke Depan
Sebagai sebuah seminari besar, Ledalero menghadapi tiga tantangan utama
ke depan. Pertama, mencari model pembinaan yang semakin berakar dalam
realitas Indonesia serentak terbuka bagi karya misi lintas batas.
Keterbukaan terhadap realitas Indonesia terutama ditunjukkan dalam
kepekaan sosial dan tanggapan terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi
masyarakat.
Kesiapan untuk misi lintas batas terutama
terkonsentrasi pada kesediaan serta kesiapan bekerja di tengah umat yang
berbeda budaya dan bersama rekan-rekan SVD yang datang dari wilayah
berlainan.
Bekerja di tengah umat yang berbudaya lain memang
tidak selalu gampang, dan sering lebih sulit lagi hidup dan berkarya
dengan rekan-rekan sebiara dari berbagai latar belakang pendidikan dan
pengalaman. Para frater pun mesti disiapkan untuk menghadapi pengalaman
menggereja yang berbeda. Budaya Nusa Tenggara yang sangat menghormati
para imam dapat membuat orang menjadi klerikalistis. Namun, para
misionaris SVD dikirim juga ke wilayah-wilayah, di mana gerakan awam
sangat kuat dan imam dihargai bukan berdasarkan status melainkan karena
kualitas hidup dan kesaksian. Selain itu pembelajaran bahasa menjadi
sebuah tantangan.
Kedua, memikirkan isi dan model pendidikan
yang lebih berakar dalam realitas Indonesia serentak terbuka bagi tugas
misi sejagad. Keberakaran dalam konteks Indonesia ditumbuhkan dengan
pendalaman akan kekayaan dan kekurangan budaya sendiri, kepekaan
terhadap realitas sosial masyarakat dan ketrampilan untuk memberikan
tanggapan, baik yang dalam bentuk advokasi maupun inisiatif-inisiatif
pemberdayaan.
Komitmen terhadap isu-isu keadilan, perdamaian
dan keutuhan ciptaan yang didukung oleh kerasulan Kitab Suci, komunikasi
serta animasi misioner perlu mendapat perhatian yang semakin besar.
Model pendidikan pun harus terus menerus dipertimbangkan agar sesuai
dengan kondisi kaum muda dalam Gereja dan masyarakat yang sangat kuat
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi komunikasi.
Karena
berbagai pengaruh itu, usia kematangan untuk mengambil keputusan yang
definitif untuk seumur hidup tidak lagi sama dengan kondisi pada 50
tahun yang lalu. Sebagaimana seminari-seminari lain, Ledalero pun mesti
memikirkan sistem pendidikan para calon imam biarawan yang sanggup
menanggapi perubahan ini. Kontribusi gagasan dari umat dan masyarakat,
terutama alumni awam dan imam pasti akan sangat membantu usaha ini.
Ketiga, tantangan finansial. Sebuah lembaga pendidikan para biarawan
calon imam/misionaris butuh pendanaan yang besar. Sebagai seminari milik
SVD, penanggungjawab utama pendanaan adalah kongregasi misi ini. Dan
sumber dana terbesar yang dikelola oleh serikat-serikat religius seperti
SVD adalah pemberian umat.
Di banyak tempat di berbagai
wilayah dunia umat memberikan derma untuk karya misi di berbagai tempat,
termasuk karya pembinaan para calon misionaris. Umat yang bermurah hati
itu umumnya bukan orang-orang yang hidup dalam kelimpahan. Dari
kesederhanaannya mereka mempunya kesediaan untuk berbagi. Namun, dewasa
ini jumlah umat seperti ini di Eropa dan Amerika semakin berkurang.
Sebab itu, serikat-serikat misi seperti SVD harus mencari jalan untuk
menggalang dana di dalam negeri sendiri. Untuk selanjutnya, kelangsungan
pendidikan para calon imam/biarawan/misionaris di Ledalero akan semakin
bergantung pada kemurahan hati umat dan warga, terutama pada alumninya.
Kendati harus menghadapi berbagai tantangan ini, para
penghuni Ledalero tetap dipenuhi optimisme, karena mereka tidak
sendirian. Sudah sepanjang 75 tahun Tuhan memancarkan sinar kasih-Nya
atas bukit ini, melalui komitmen dan kerelaan berkorban para misionaris
perintis, para penghuni, umat dan warga, pemerintah serta alumni.
Diimani, Tuhan yang sama akan tetap menyatakan kesetiaan-Nya dan
menggerakkan banyak orang untuk terus berjalan bersama Ledalero.
Atau, dalam bahasa John Dami Mukese dalam puisi menyongsong 70 Tahun
Ledalero, "setia menapak Jalan Mentari/dalam ziarah tak berakhir." (Paul
Budi Kleden/habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar