Laman

Selasa, 11 September 2012

75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero ( III )


Jadi Markas Tentara Jepang 

IMAM pertama dari Seminari ini ditahbiskan tiga setengah tahun setelah lembaga ini berdiri, yakni pada tanggal 2 Januari 1941. Karolus Kale Bale dan Gabriel Manek ditahbiskan menjadi imam di Gereja Nita. P. Jacob Koemeester, rektor pertama Ledalero menulis tentang peristiwa itu demikian, "Minat orang serani besar sekali.

Mereka kini melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang-orang mereka juga dapat mencapai imamat agung yang tinggi itu. Frater-frater dan siswa-siswa seminari menengah merasa kerinduannya akan imamat lebih menyala lagi dan dengan kurang sabar menantikan hari-hari itu, ketika mereka akan menerima jabatan yang sama".

Setahun kemudian, di bawah bayang-bayang Perang Dunia II dan ancaman pendudukan Jepang, generasi kedua ditahbiskan, kendati belum menuntaskan studi teologinya. Tahbisan-tahbisan "prematur" ini membantu menjawabi kesulitan yang dihadapi Gereja Nusa Tenggara, ketika hampir semua misionaris berkebangsaan Jerman dan Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Selama masa pendudukan Jepang itu pula, seminari Ledalero dijadikan markas tentara Jepang, sehingga untuk sementara para calon imam dipindahkan ke Todabelu.

Fajar harapan kembali merekah bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Para misionaris dikembalikan, Gereja mengalami kebangkitan, seminari pun dihuni lagi. Rencana untuk masa depan pun ditempa lebih serius.

Salah satunya adalah menyiapkan tenaga Indonesia untuk bekerja sebagai dosen di Ledalero. Caranya adalah mengirimkan orang-orang yang dipandang berbakat untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Maka, pada tahun 1948 dua imam dan tiga frater dikirim untuk meneruskan studi mereka di Belanda. Pada tahun 1955 satu dari mereka, P. Paul Sani kembali ke Ledalero dan mengajar sebagai dosen pertama asal Indonesia.

Dengan ini dimulailah secara perlahan episode kedua, yang dapat disebut sebagai tahap Indonesianisasi. Semakin banyak tenaga Indonesia menjadi pengajar di Ledalero, walaupun tidak semuanya bertahan lama.

Tahap kedua ini dipacu pula oleh perubahan di dalam Gereja yang dibawa oleh Vatikan II. Angin pembaruan yang memberikan perhatian semakin besar kepada elemen-elemen pribumi, yang umumnya disebut sebagai inkulturasi, mendorong refleksi yang semakin serius mengenai keberakaran pendidikan para calon imam SVD dalam konteks Indonesia.

Pada waktu ini didiskusikan pula secara meluas soal partisipasi orang-orang Indonesia dalam kepemimpinan dalam Gereja, termasuk di Ledalero. Pekan Studi para imam tamatan Ledalero pada awal tahun 1970-an berbicara secara khusus mengenai tema ini. Rektor pertama Ledalero yang berkebangsaan Indonesia diangkat pada tahun 1966 dan menjalankan masa tugasnya untuk satu periode. Apa yang lumrah dewasa ini, pada waktu itu menjadi sebuah masalah.

Dalam peta politik Indonesia, periode ini jatuh bersamaan dengan periode pemerintahan Presiden Soeharto yang melancarkan program pembangunan. Generasi para tamatan Ledalero dari periode ini ditandai oleh rasa kebangsaan yang tinggi dan dukungan bagi pembangunan yang diprogramkan pemerintah. Kemitraan dengan pemerintah menjadi hal yang penting bagi mereka.

Para pejabat pemerintah sering mengadakan kunjungan ke Ledalero. Di antaranya adalah Jendral Ahmad Yani yang memberikan kuliah umum kepada para frater Ledalero lima hari sebelum dibunuh dalam peristiwa kejam yang disebut sebagai Gerakan 30 September 1965. Janjinya untuk kembali lagi ke Ledalero tidak dapat lagi terwujud.

Sebagai sebuah tarekat misi, para anggota SVD harus memiliki kesediaan untuk berkarya di negara-negara lain sesuai kebutuhan tarekat. Ledalero tidak hanya mendidik para calon imam SVD untuk berkarya di negaranya, tetapi untuk kebutuhan serikat di seluruh dunia. Pada tahun 1982, dua orang Frater yang berkaul kekal mendapat benumming untuk menjadi misionaris di Papua New Guinea. Mereka pergi ke sana setelah ditahbiskan pada tahun 1983. Dengan ini mulailah epiosed ketiga, Ledalero menjadi seminari bagi seluruh dunia.

Kalau pada tahun 1926 sejumlah misionaris masih meragukan entahkah orang-orang Nusa Tenggara bisa menjadi biarawan dan imam, dewasa ini anak-anak kelahiran tanah dan budaya Nusa Tenggara telah menjadi misionaris di berbagai belahan bumi. Sejak itu, seminari tinggi ini sudah mengutus lebih dari 406 orang biarawan imam misionaris untuk berkarya di 45 negara di 5 benua.

Walaupun harus mengatasi tantangan bahasa dan perbedaan budaya, para misionaris SVD tamatan Ledalero umumnya mudah menemukan cara untuk mendekati umat. Mereka berkarya dalam pelayanan pastoral di paroki, menjadi guru dan pendidik atau pemimpin. Beberapa di antaranya dikenal sebagai pejuang kemanusiaan dan pembela hak-hak warga dan umat yang miskin dan tersisih.

Periode ini ditandai oleh komitmen sosial yang semakin kuat dan keterbukaan bagi misi SVD sejagad. Kehadiran semakin banyak dosen dalam berbagai bidang keahlian, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, membuat Ledalero semakin terbuka untuk menanggapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, tidak lagi dengan pendekatan pembangunan, tetapi dengan pendekatan advokasi bagi rakyat yang menjadi korban dalam proses pembangunan. 
Para dosen Ledalero bersuara mengungkapkan berbagai kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pada kesempatan seminar maupun melalui media massa. Para mahasiswa pun tidak tinggal diam. Mereka terlibat dalam beberapa aksi massa untuk membela kepentingan warga yang miskin dan tersingkirkan.
Para Frater turut mendemonstrasi menentang proses hukum yang tidak adil atas diri seorang pastor di Larantuka yang dituduh mencemarkan nama baik bupati. Ketika di Manggarai 6 petani kopi ditembak mati oleh aparat, para mahasiswa dan dosen Ledalero tidak tinggal diam. Suara protes dan demonstrasi pun digalakkan untuk menentang rancangan undang-undang negara yang dinilai diskriminatif.

Selain itu, keterbukaan kepada misi SVD sejagad ditumbuhkan melalui sharing para misionaris yang datang berlibur. Kisah mereka tentang kegembiraan dan duka cita, keberhasilan dan tantangan mereka, membantu memperluas wawasan dan terlebih menanamkan semangat serta menyiapkan batin mereka untuk bermisi.

Dewasa ini, sekitar 2/3 Frater yang berkaul kekal mendapat penempatannya di luar negeri. Misi dalam arti proses seperti ini sebenarnya telah dimulai dan dialami di Ledalero. Sebagaimana di banyak lembaga pendidikan calon imam dan religius lainnya, proses pendidikan menjadi misionaris di seminari seperti Ledalero adalah proses saling menjernihkan dan memperkaya. Proses ini tak selalu mudah.

Pertobatan untuk menjadi rendah hati, meluluhkan benteng keangkuhan diri tak selalu gampang. Ketulusan dan kejujuran harus selalu diperjuangkan, dan tak sedikit yang mesti membayar mahal untuknya. Selain itu, kepekaan sosial dan keberanian untuk menanggapi masalah-masalah sosial pun mendapat perhatian yang semakin penting. Orang perlu mengatasi godaan untuk tinggal dalam kenyamanan diri dan kelompok sendiri.

STFK Ledalero
Ledalero bukan hanya nama untuk seminari tinggi. Nama ini pun digunakan untuk Sekolah Tinggi Filsafat sebagai lembaga yang diakui keberadaannya oleh negara Indonesia. Sekolah ini bernama lengkap Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero). Dalam relasi dengan pemerintah Indonesia bidang pendidikan, nama lembaga inilah yang dikenal. Tentu saja, STFK Ledalero adalah perpanjangan tangan dari Seminari Tinggi Ledalero.

Lembaga ini dicetuskan karena mempertimbangkan kenyataan akan perlunya pengakuan negara bagi para lulusan Ledalero. Pengakuan ini sangat diperlukan bagi para lulusan yang awam, agar mudah mendapatkan pekerjaan di luar konteks Gereja.

Tetapi juga bagi para imam, yang mendapat kepercayaan dari keuskupan atau tarekat untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan, memiliki ijazah yang diakui pemerintah mendatangkan banyak kemudahan dan kemudian menjadi syarat yang harus dipenuhi. Saat itu ada yang mengusulkan agar diambil pendidikan Kateketik dengan gelar BA sebab dipandang lebih mudah urusannya.

Yang lain menolak gagasan ini dan mempertahankan studi khusus filsafat dan teologi sebagai ciri lembaga ini. Soal lain adalah, apakah lembaga itu secara resmi diafilisasikan pada lembaga lain seperti Atma Jaya atau berdiri sendiri. Atas pertimbangan ini, maka pada tahun 1969 para pimpinan regio-regio SVD Indonesia dan para Uskup Nusa Tenggara memutuskan untuk tetap berdiri sendiri dan mempertahankan spesifikasi dalam bidang filsafat dan teologi.

Masih pada tahun yang sama keputusan ini didiskusikan lebih lanjut dengan P. Musynsky, Superior General yang saat itu berkunjung ke Indonesia. Keputusan resmi dari Pemerintah Indonesia diberikan pada bulan Juni 1971. Setahun kemudian, angkatan pertama sudah membuat ujian negara BA.

Berjalannya waktu membawa juga perubahan dalam kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Karena perubahan ini dan memperhatikan persyaratan yang sudah dimiliki, maka pada tahun 1981 STFK pun diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan Program Sarjana Filsafat. Peningkatan program studi ini terus diupayakan dengan menyelenggarakan program pascasarjana/magister teologi sejak tahun 2003. Pada tahun 2012 program studi ini mendapat akreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. (Paul Budi Kleden/bersambung)

Editor : alfred_dama
Sumber : Pos Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar