
KOMPAS/LUCKY
PRANSISKA
Wisatawan menyusuri jejak erupsi Merapi di
Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta, menggunakan jip sewaan, Jumat (27/1). Warga setempat menyediakan
jasa wisata Merapi berupa jip dengan harga sewa Rp 250.000 dan sepeda motor
trail Rp 50.000 hingga Rp 250.000 untuk satu trip.]
Oleh Bestian Nainggolan dan Bambang Setiawan
Letusan Merapi 2010
tidak hanya menguak betapa alotnya pergulatan manusia menghadapi bencana. Lebih
dari itu, pahitnya dampak yang ditimbulkan turut pula mengubah tatanan sosial
yang terbentuk selama ini antara manusia dan gunung api.
Tiada seorang pun
menampik keganasan letusan Merapi. Dentuman memekakkan telinga, lontaran
bola-bola api, gulungan awan panas yang menyapu hingga 15 kilometer dari
puncak, serta puluhan manusia yang hangus begitu jelas dipertontonkan melalui
televisi. Jutaan pasang mata terperangah memandangnya.
Mengenaskan memandang
dampaknya. Di antara korban ada Mbah Maridjan—juru kunci Merapi. Tak ada yang
menyangka, sosok yang kerap dijadikan rujukan aktivitas Merapi itu berakhir.
Kepergiannya menjadi klimaks perbincangan Merapi.
Di balik peristiwa, ada
yang terpelajari. Hal itu di antaranya tiada yang serba pasti dalam memahami
alam. Tiada yang menjamin letusan tak akan terjadi. Tiada pula yang sahih
memprediksi kekuatan letusan ataupun dampaknya. Bencana tetap menjadi misteri
alam, siap mengintai dan datang kapan saja. Inilah risiko bagi mereka yang
hidup di gunung api.Wedi (32), petani
kentang Dusun Bambangan lereng Gunung Slamet, Desa Kutabawa, Purbalingga, Jawa
Tengah, kini khawatir. Ia yang turun-temurun bertani sayuran sebenarnya akrab
dengan perilaku gunung. April 2009 Gunung Slamet bergemuruh, tiada sedikit pun
ia khawatir. Tiap pagi, ia tetap bertani di lereng gunung. Namun, kini berbeda.
Setiap Gunung Slamet bergemuruh, ia bergegas turun.
Tidak hanya Wedi ataupun
penduduk yang bermukim di lereng Slamet yang kini waspada. Perangkat mitigasi
kebencanaan seputaran kawasan Gunung Slamet yang menaungi lima kabupaten:
Banyumas, Purbalingga, Tegal, Pemalang, dan Brebes, pun mulai menunjukkan
perhatian. Di tataran pemerintahan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
turut memprioritaskan pengawasan Gunung Slamet. ”Lembaganya memang baru,
peralatan masih seadanya, tetapi Slamet prioritas,” kata Yuniyanto, Ketua BPBD
Kabupaten Banyumas.
Sayang, pengamatan
seputaran gunung belum menunjukkan kelengkapan mitigasi kebencanaan. Sangat
kontras dengan kondisi di kawasan Merapi, jalur evakuasi dan shelter
pengungsian di kawasan Slamet belum tampak. Padahal, gunung api tertinggi di
Jawa Tengah (3.436 meter) ini patut diwaspadai. Sejak tahun 2009, letusan abu,
lava pijar di seputaran kawah, peningkatan kegiatan vulkanis, dan gempa
vulkanik kerap tercatat. Tahun 2009 gunung ini pernah ditetapkan dalam status
Siaga.
Yang cukup
menggembirakan, perhatian masyarakat terhadap aktivitas gunung semakin tinggi.
Beberapa elemen masyarakat hadir. Forum Slamet, misalnya, kumpulan warga yang
memiliki perhatian khusus. ”Apa pun keterbatasannya kami harus siaga, Merapi
memberi pelajaran,” kata Heri Kisyanto, Ketua Forum Slamet.
Tidak hanya di kawasan
Gunung Slamet, masyarakat Kabupaten Wonosobo dan Temanggung sejak Desember 2011
juga benar-benar waspada. Penyebabnya, peningkatan aktivitas Gunung Sindoro.
Semula, tiada yang percaya gunung setinggi 3.151 meter yang sejak tahun 1970
dianggap ”tidur” ini menggeliat.
Ketika Sindoro tiba-tiba
menunjukkan ketidakwajaran, masyarakat berbondong mengunjungi Pos Pengamatan
Gunung Api Sindoro dan Sumbing yang ada di Desa Gentingsari, Kecamatan Bansari,
Kabupaten Temanggung. Pos yang semula sepi, hanya ditempati dua petugas, saat
itu berubah menjadi pusat keramaian ratusan warga. Para kepala desa, danramil,
kapolsek, camat, dan bupati dari kedua kabupaten bersama warga hadir memantau.
Dalam catatan pengamatan, sejak 11 Desember 2011 sebagian warga Dusun
Gondongan, Kecamatan Parakan, Temanggung, mengungsi menjauhi Sindoro. Langkah
antisipasi ini didasarkan pada kekhawatiran terjadi peristiwa seperti letusan
Merapi. Sekalipun kini Sindoro
mereda, Amin (54), juru kunci Sindoro di Desa Sigedang, yang menjadi rujukan
para pendaki dari jalur Tambi, Wonosobo, mengingatkan, ancaman Sindoro mungkin
kembali terjadi. Dalam pengamatan batinnya, geliat Sindoro karena keserakahan
manusia merusak gunung.
Dari berbagai daerah di
Jawa Tengah yang tengah mawas diri, Kabupaten Wonosobo tampaknya paling sibuk.
Baru saja perhatian aparat dan warga tercurah kepada Sindoro, pada 18 Desember
2011 bencana tanah longsor di Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Dieng, Wonosobo,
meluluhlantakkan permukiman. Kawasan yang memiliki kemiringan lebih dari 45
derajat itu memang langganan bencana. ”Nyawa 11 orang terenggut,” kata Eko
Sutrisno Wibowo, Ketua BPBD Kabupaten Wonosobo.
Dataran Tinggi Dieng
yang terhampar di dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara, menyimpan petaka
lain. Selain tanah longsor, semburan gas karbon dioksida (CO2) ataupun karbon
monoksida (CO) yang tidak berbau dan berwarna mengancam. Kawah-kawah di Dieng
menjadi ancaman. Berbeda dengan kawasan gunung api lain, di Dieng penduduk
bermukim hingga kawasan paling berbahaya. Maklum, selain dikenal kesuburan
tanahnya, Dieng menjadi pusat wisata andalan.
"Di Kejajar, harga
tanah per meter sangat mahal, ada yang Rp 1 juta per meter. Hasil pertaniannya
sangat menjanjikan," kata Eko Sutrisno Wibowo.
Berbagai pencegahan
bencana kini dilakukan. ”Kami sudah memasang indikator gas beracun. Begitu
terdeteksi, secepat mungkin tanda berbunyi,” kata Surip, petugas Pos Pemantauan
Gunung Api Dieng, Desa Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Mereka sadar betul,
sekali luput, Dieng menjadi kawah kematian, seperti yang terjadi pada peristiwa
Sinila 1979. Ketika itu, gas beracun menewaskan 149 jiwa. Terakhir, pengujung
Mei 2011, di sekitar Kawah Timbang, lebih dari 1.000 jiwa Desa Sumberejo,
Serang, Kaliputih, dan Simbung, Kabupaten Banjarnegara, diungsikan.
Dari pengamatan, meski
keengganan untuk pindah masih dominan, terlihat penduduk kini lebih mewaspadai
aktivitas gunung tempat bermukimnya. Inilah sisi baru kesadaran masyarakat,
sekaligus suatu koreksi relasi mereka terhadap perilaku sebelumnya.
(Sumber : Kompas.com/Litbang
Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar