
KOMPAS/
PINGKAN ELITA DUNDU
Momentum pascameletusnya
Gunung Merapi menjadi daya tarik bagi para wisatawan domestik dan mancanegara.
Mereka memanfaatkan liburan panjang di akhir tahun dengan mengunjungi
reruntuhan rumah, bekas aliran lahar panas dan dingin, serta rumah kuncen
Gunung Merapi, Mbah Marijan, Senin (26/12/2011).
Oleh Aryo Wisanggeni Genthong dan Aloysius B Kurniawan
Tanaman mulai bersemi,
tetapi jejak kehancuran letusan Merapi, Oktober 2010, belum sepenuhnya sirna.
Sisa-sisa rumah terbakar, aspal yang hilang separuh, serta pasir dan bebatuan
yang menyelimuti seperti monumen kematian.
Bagi warga Kinahrejo,
jejak kehancuran itu menjadi modal hidup baru. Di dusun itu, petilasan rumah
Mbah Maridjan menyisakan beberapa umpak batu penyangga tiang yang dikelilingi
tali. Kerangka sepeda motor dan mobil bekas terpanggang awan panas dibiarkan
teronggok. Sebuah baliho cetakan digital terpampang di sana, mengurai kronologi
erupsi pada 26 Oktober 2010 yang menewaskan Mbah Maridjan dan 34 orang lain.
Beberapa orang berfoto di depan petilasan itu, sebagian lain turun ke lembah
Kali Opak dan Kali Gendol di belakang bekas rumah Mbah Maridjan.
Mbah Maridjan, juru
kunci Merapi yang bertahan di rumahnya saat awan panas menerjang, ditemukan
meninggal. Kematiannya menjadi tragedi dan semakin memopulerkan sosok yang tak
pernah mau mengungsi setiap Merapi meletus ini.
Setelah kematiannya,
kisah Mbah Maridjan menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk datang.
Persis di depan bekas rumah juru kunci itu, warung makan dan kios cendera mata
yang menjual kaus, mug, dan pernak-pernik diserbu pelancong. Kebanyakan cendera
mata itu menggunakan Mbah Maridjan dan Merapi sebagai ikon.
Janda Mbah Maridjan,
Ponirah (78), dan anaknya, Asih (45), mengelola warung itu. "Barang ini
titipan banyak orang. Ada yang buatan warga Kinahrejo, ada pula yang titipan pedagang
dari luar. Wisata di Kinahrejo selalu ramai, apalagi hari Minggu," kata
Ponirah tersenyum.
Sebelum letusan Merapi
pada 2006, Kinahrejo adalah dusun kecil di kaki Merapi yang hanya dikenali
komunitas pendaki gunung. "Dulu yang datang ke Kinahrejo, ya, orang yang
mau mendaki Gunung Merapi," ujar Ponirah. "Mereka biasanya mampir di
rumah Mbah, mengisi buku tamu, jumlah pendaki, berikut rencana pendakian
mereka."
Pascaletusan Merapi
2010, Kinahrejo dan delapan dusun lain di Desa Umbulharjo, Kepuharjo, dan
Glagaharjo, luluh lantak. Ribuan rumah hancur, tanaman di kaki selatan Merapi
lenyap tertimbun material letusan Merapi. Di balik kehancuran itu ada berkah.
Sejak pemerintah menurunkan status bahaya Merapi yang diikuti pembukaan kawasan
itu untuk publik, ribuan orang berbondong-bondong datang. Mereka penasaran
melihat dari dekat jejak letusan gunung.
"Orang ingin tahu
seperti apa rumah Mbah Maridjan dan bagaimana kondisi dusun kami," kata
Asih. "Daripada nasib kami menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian
menyediakan tontonan. Itulah ide awal Lava Tour Merapi."
"Wisata bencana"
Lava Tour Merapi adalah
paket wisata mengelilingi tapak bencana, semacam napak tilas kondisi kawasan
ini sebelum terjadi letusan Merapi 2010. Wisata ini digagas korban bencana Merapi.
Mereka menawarkan motor trail sewaan. Dengan paket termurah, Rp 50.000, motor
trail bisa dikebut menuju lapangan kecil di bawah rumah Mbah Maridjan.
Pengunjung yang mau merogoh kocek lebih dalam boleh memacu motor trail hingga
Kali Adem untuk melihat pasir dan bebatuan yang dimuntahkan Merapi.
Perjalanan
"offroader dadakan" dengan jip bisa dipilih bagi keluarga yang ingin
mengunjungi dusun lebih jauh, seperti Petung atau Kaliadem yang tertimbun
muntahan Merapi.
Yang malas merogoh
banyak uang sekaligus malas berjalan kaki bisa memilih ojek berongkos Rp 20.000
yang akan mengantar pengunjung naik dari perbatasan Dusun Pelemsari-Dusun
Pangukrejo menuju rumah Mbah Maridjan. Tarif ojek dan offroad dengan jip ini
sudah dengan bonus kisah tentang bagaimana bencana itu terjadi, juga tentang
"drama" kematian Mbah Maridjan.
Di pertigaan jalan
teratas Dusun Pelemsari, papan peringatan bahaya awan panas yang seharusnya
membuat orang menyingkir pergi justru menambah minat orang datang dan berfoto.
Hamzah (60) dan putrinya, Verawati, gantian berfoto bersama di tapak bencana.
Daliman (40), warga
Dusun Pangukrejo yang menjadi pemandu wisata, menunggu keduanya selesai
berfoto. Lalu ia menunjuk ke arah timur, ke dataran lebih rendah. "Itu
rumah Mbah Maridjan," kata Daliman. "Letusan Merapi 2010 memang
besar, mengubur tiga dusun."
"Itu dulu rumah
semua?" Hamzah terperangah, kepalanya menggeleng pelan, lalu terdiam
mencoba mencerna kata-kata Daliman.
"Ada lapangan, ada
rumah." Daliman menunjuk ke arah yang lebih jauh. "Yang warna hitam
itu satu kampung di Kali Adem, hancur."
"Dari kawah
itu?"
"Iya, dari kawah
Merapi. Yang paling parah Desa Glagaharjo, di sebelah timur Sungai Gendol,
karena tertimbun material panas," Daliman lancar berkisah tentang
kampungnya yang telah musnah.
Bagi Hamzah, ini kali
pertama menginjakkan kaki di pedukuhan Kinahrejo, Dusun Pelemsari, Cangkringan,
Sleman. "Saya dari Kisaran, Sumatera Utara. Kebetulan sedang menengok anak
di Bandung dan akhirnya ingin mampir ke sini," katanya.
Segala kisah hidup, kontroversi,
dan mitos tentang almarhum Mbah Maridjan adalah magnet yang menghidupi korban
bencana yang selamat.
(Agung Setyahadi/Indira Permanasari/Ahmad Arif)
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar