KOMPAS
IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Shelter korban letusan Merapi di Dusun
Plosokerep, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, Sabtu
(24/12/2011).
Oleh Ahmad Arif/Agung Setyahadi
Langit mendung mulai
mengirim gerimis. Puluhan orang bertahan di bekas Kampung Kinahrejo di lereng
selatan Merapi. Mereka menyusuri jalan tertutup pasir dan bebatuan sisa awan
panas dari letusan Gunung Merapi pada 2010. Di ujung jalan aspal yang
mengelupas, mereka menggelar peta Kawasan Rawan Bencana Merapi.
Sri Sumarti, Kepala
Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian
(BPPTK) Yogyakarta, menerangkan makna peta itu, sementara puluhan orang yang
terdiri atas guru-guru sekolah dasar itu menyimak dengan antusias. Sri memimpin
langsung kuliah lapangan Wajib Latih Bencana untuk guru-guru yang mengajar di
Kawasan Rawan Bencana (KRB) 3 Merapi.
"Yang diberi warna
merah artinya daerah berbahaya, tidak boleh untuk tempat tinggal," kata
Sri, melalui pengeras suara.
"Lah, sekolah kami
ada di kawasan merah itu, Bu," kata Surono, guru SDN 1 Balerante, Klaten.
"Pantas saja sekolah kami tidak mendapat dana renovasi walau rusak setelah
letusan Merapi." Surono lalu meminta peta KRB agar dia bisa menjelaskan
kepada warga lain di Balerante tentang status desa mereka yang berada di zona
bahaya. "Peta ini disediakan gratis untuk warga, silakan diambil di kantor
BPPTK," kata Sri.
Sri lalu melanjutkan
"kuliah" lapangan dengan menunjukkan kepada guru-guru tentang
kedahsyatan letusan Merapi 2010. Ia mengontraskan dengan kenyataan saat Merapi
meletus pada 26 Oktober 2010 dan sehari setelah gunung itu berstatus Awas,
sebagian sekolah di zona bahaya masih mengadakan kegiatan belajar-mengajar.
"Hayo, kenapa ada yang belum mengungsi. Boleh enggak sebenarnya?" Sri
bertanya.
"Enggak boleh,
Bu," jawab Nur Muhammad, guru Madrasah Ibtidaiyah Ngablak 1, Srumbung,
Magelang, sambil tersenyum. "Tapi, kami dulu belum pelatihan, jadi tidak
tahu." Jawaban Nur diikuti dengan teriakan "huu... huu..." dari
guru-guru lain.
Sri menjelaskan, status
Awas untuk gunung api berarti kondisi gunung itu sudah hampir meletus. Warga di
zona bahaya harus segera mengungsi.
Tetap sekolah
Nur mengisahkan, sore
itu, 26 Oktober 2010, abu tebal turun dan suara gemuruh terdengar beberapa
kali. Namun, warga tetap bertahan karena tidak ada informasi kapan harus
mengungsi. Ingatan mereka juga tidak merekam bencana yang pernah melanda dusun
yang berjarak sekitar 9 kilometer dari puncak di lereng barat Gunung Merapi.
Padahal, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah merekomendasikan
daerah dalam radius 10 kilometer dari puncak Merapi harus dikosongkan.
Baru ketika hujan abu
menebal seiring gelegar keras dari puncak Merapi, warga Ngablak panik dan
berhamburan meninggalkan dusun. Saat itu Merapi telah meletus. Letusan itu
meluluhlantakkan Dusun Kinahrejo dan menewaskan puluhan warga di lereng selatan
Merapi. Beruntung bagi warga Ngablak, letusan Merapi tidak mengarah ke selatan.
Warga Ngablak
meninggalkan dusun tanpa tujuan, tidak tahu harus mengungsi ke mana karena
tidak ada informasi barak pengungsian yang harus dituju. "Akhirnya kami
berhenti di SD Srumbung dan menginap di sana semalam," ujar Nur.
Ketidaktahuan warga
Ngablak berlanjut hingga esok hari. Pada 27 Oktober 2010, mereka kembali ke
Ngablak. Madrasah Ibtidaiyah Ngablak 1 dan SD Ngablak 2, sekitar 8 km dari
puncak Merapi, kembali melakukan aktivitas belajar-mengajar.
Baru pada pukul 10.00,
Kepala Dusun Ngablak Sutopo meminta warga mengungsi setelah mendapat informasi
dari Pemerintah Kabupaten Magelang. Warga mengungsi ke Bulog Magelang selama 15
hari, kemudian ke Jumoyo selama sebulan.
Pendidikan bencana
Sebagai gunung api
teraktif di Nusantara, Merapi juga gunung terpadat penduduknya.
Guru Besar Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Sutikno mengatakan, warga Merapi memiliki
hubungan sangat kuat dengan Tanah Air-nya. "Mereka memiliki prinsip sadumuk bathuk
sanyari Bumi, yaitu akan tetap
mempertahankan tempat tinggalnya walau kondisi apa pun," kata Sutikno.
Sebagian warga Merapi,
kata Sutikno, memiliki keyakinan bahwa gunung itu teman leluhur sejak dulu.
"Warga percaya Merapi tidak akan menyengsarakan," katanya.
Selain itu, Merapi
memiliki sumber daya alam berlimpah yang selama ratusan tahun menopang hidup
warga. Hal itu, menurut Sutikno, membuat upaya relokasi warga di zona bahaya
selalu gagal.
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar