Mengokohkan Dinasti Politik
Sidik Pramono dan Aswin Rizal Harahap
Pengalaman lebih dari 30 tahun silam tak pernah dilupakan Haris
Hody, kini Direktur Utama Perusahaan Daerah Sulawesi Selatan. Selepas shalat
Jumat di Jalan Mappanyukki, ia sesekali mampir makan siang di rumah Ichsan
Yasin Limpo di Jalan Haji Bau, Kota Makassar. Keduanya adalah teman
sepermainan, ayah mereka pun sama-sama tentara.
Siang seperti itu keluarga Yasin Limpo biasa berkumpul. Sang ayah,
Muh Yasin Limpo yang biasa dipanggil Teta, menjadi poros pertemuan. ”Di situ
nilai nasionalisme, karakter kepemimpinan, ditanamkan oleh Teta kepada
anak-anaknya. Ya mirip-mirip pendidikan politiklah,” kenang Haris pada suatu
petang di kawasan Losari, Makassar, pertengahan Juni lalu.
Ketika kemudian usia makin dewasa, tatkala keturunan Yasin Limpo
cemerlang berkiprah di dunia politik dan birokrasi, Haris memahami. Kebiasaan
seperti itulah yang kemudian membentuk keluarga Yasin Limpo menjadi seperti
saat ini.
Syahrul, anak kedua, menjabat Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan.
Anak pertama, Tenri Olle, menjadi anggota DPRD Provinsi Sulsel. Ichsan menjadi
Bupati Gowa, jabatan yang juga pernah diemban ayahnya dan Syahrul. Haris
menjadi anggota DPRD Kota Makassar. Irman menjadi Kepala Dinas Industri dan
Perdagangan Provinsi Sulsel. Sementara, meski mayoritas keluarganya di Partai
Golkar, pada Pemilu 2009 Dewie menjadi calon anggota DPR dari Partai Hati
Nurani Rakyat.
Bahkan, kini generasi berikutnya mulai mentas di panggung politik.
Anak Syahrul, Indira Thita Chunda, menjadi anggota DPR dari Partai Amanat
Nasional (PAN). Anak Ichsan, Adnan Purichta, menjadi anggota DPRD Sulawesi
Selatan dari Partai Demokrat.
Menanggapi persebaran keluarganya di pentas politik itu, Syahrul
membantah bahwa hal itu adalah arena fasilitas tertentu dari dia atau partai
politik. Mereka memiliki talenta untuk berpihak kepada rakyat. Mereka menjadi
caleg bukan karena anak-cucu Yasin Limpo (Kompas, 21 Oktober 2009).
Dikedepankan
Tidak ada yang salah jika dinasti politik terbentuk secara
alamiah, rasional, merujuk pada kompetensi. Di negara-negara demokrasi maju pun
telah tercatat keluarga yang punya sejarah panjang dalam dunia politik mereka.
Namun, yang menjadi soal adalah jika faktor keluarga itulah yang
semata-mata dikedepankan. Kompetensi personal seolah tak cukup untuk dijadikan
modal politik.
Praktiknya, seorang calon harus mempunyai cantelan kekerabatan,
garis keturunan dari tokoh-tokoh yang telah dikenal. Praktik jamak, kalau perlu
seseorang harus menelusuri silsilahnya, untuk mendapatkan pertalian darah
dengan tokoh yang telah dikenal di masa lalu. Faktor lain, para bangsawan
diuntungkan karena akses mereka yang lebih luas, termasuk kesempatan memperoleh
pendidikan yang bisa dijadikan modal dalam kontestasi.
”Kalau dilihat dari daftar wisuda, kebanyakan lulusan itu
merupakan generasi kedua, atau bahkan pertama, yang menjadi sarjana dalam
keluarganya,” cerita budayawan dari Universitas Hasanuddin, Alwy Rachman.
Mengenali sejarah seseorang memang lebih gampang dengan menilik nama
keluarga di belakang namanya. Tak hanya Yasin Limpo, banyak pejabat di Sulsel
yang memiliki akar kekerabatan yang jelas dengan pejabat sebelumnya. Ilham Arif
Sirajuddin, kini Wali Kota Makassar dan kandidat gubernur, adalah anak mantan
Bupati Gowa. Wakil Gubernur Agus Arifin Nu’mang, ayahnya pernah lama menjadi
Bupati Sidenreng Rappang. Anak sejumlah kepala daerah di Sulsel pun
bersiap-siap meneruskan posisi ayahnya. Pemilu secara langsung bisa menjadi
jalan untuk mengokohkan ”kebangsawanan” seseorang.
Mengutip Muhtar Haboddin, kemenangan golongan bangsawan dalam
pilkada menjadi pemicu terjadinya ledakan partisipasi golongan bangsawan dalam
pilkada. Dari sembilan kabupaten yang dimenangi golongan bangsawan,
sebanyak 74 calon bupati dan wakil bupati dan 30 di antaranya
berlatar belakang golongan bangsawan.
Bahkan, di daerah yang masih kental semangat kebangsawanannya pun,
seperti Kabupaten Bone, Wajo, Jeneponto, dan Soppeng, para bangsawan
mendominasi bursa bupati dan wakil bupati. Dominasi bangsawan di empat
kabupaten ini bisa dimaknai trah bangsawan tetap eksis dalam panggung politik
lokal. Mereka adalah figur-figur yang bisa memanfaatkan dan menguasai proses
politik desentralisasi dan liberalisasi politikSumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar