Potret Lembaga Pengganggu Koruptor

Suasana diskusi tentang penyelewengan dana APBD dan kasus korupsi lain di Kantor Komite Pemantau Legislatif (Kopel) di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kopel menjadi salah satu lembaga swadaya masyarakat yang aktif menyuarakan kritik terhadap praktik korupsi di instansi pemerintah.
Tak mudah menemukan ruang kosong untuk memarkir mobil di halaman
sebuah rumah dua lantai di kawasan Batua Raya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Tak ada papan nama mencolok, tetapi aktivitas di dalam rumah terasa sejak di
luar pagar. Barisan motor terparkir di depan rumah. Di lantai bawah, beberapa
anak muda menekuni tumpukan dokumen. Lantai dua digunakan untuk pertemuan.
Itulah kantor Komite Pemantau Legislatif (Kopel), lembaga
nonpemerintah yang berpusat di Kota Makassar. Secara legal, Kopel didirikan 10
Maret 2000. Awalnya mesti berpindah-pindah, tapi kini punya kantor sendiri.
Mereka dapat tanah 140-an meter persegi dengan harga relatif murah. Bangunan
dua lantai didirikan bertahap. Banyak pejabat daerah hadir saat peresmian.
Tawaran bantuan mengalir, tapi ditolak agar tetap independen. ”Kalau diterima,
bisa kalah (megah) itu kantor polda,” canda Direktur Eksekutif Kopel Syamsuddin
Alimsyah.
Kopel terhitung sebagai organisasi masyarakat sipil yang kini naik
pamor. Sempat jatuh-bangun di awal pendirian, berbagai lembaga donor nasional
dan internasional merujuk Kopel sebagai mitra. Bisa enam program sekaligus
mereka kerjakan setahun. Kopel kini punya perwakilan di Maluku Utara, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta, dan Sumatera Utara.
Kondisi berbeda dihadapi Anti-Corruption Committee (ACC),
organisasi yang pernah dipimpin Abraham Samad, yang kini Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi. Mereka menempati rumah-toko di pertokoan Pettarani, Kota
Makassar. Kantor itu disewa, mereka terbiasa berpindah.
Lembaga yang dideklarasikan 26 Desember 1998 ini hidup dari para
pendiri dan pengurus. Sesekali ada program dari lembaga donor. Sebagai lembaga
antikorupsi, mereka selektif menggandeng mitra. Sekadar ajakan berkoalisi
dengan lembaga lain pun mesti dicermati. Jangan sampai ada ”penyusup” yang
kemudian menorehkan noda. Integritas pertama, mungkin juga segalanya. ”Sekali
kena, risikonya mana orang akan percaya?” kata Ketua Badan Pekerja ACC Abdul Muttalib.
Para staf tak bisa sepenuhnya mengandalkan pendapatan dari ACC.
Muttalib membuka praktik pengacara. Prinsip mantan aktivis mahasiswa ini jelas.
Klien terindikasi korupsi, tak mungkin ia bela meski ia bisa mendapatkan banyak
uang dari sana. Kok bisa bertahan? ”Istriku pegawai negeri,” kata mantan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar ini, sambil tersenyum.
Kehadiran organisasi masyarakat sipil dibutuhkan untuk
menjembatani masyarakat dengan negara atau partai politik dan birokrasi.
Kehadiran organisasi masyarakat sipil di Sulsel, khususnya di Makassar,
diwarnai catatan tak menyenangkan.
Menurut penelitian Roy V Salomo, LSM di Makassar, bahkan di
Sulsel, pernah berembuk mengganti sebutan jadi organisasi nonpemerintah (ornop)
karena reputasi LSM yang buruk. Pemicunya, penyelewengan kredit usaha tani oleh
LSM. LSM diolok-olok dengan istilah ”Lao Sala Maneng”, semuanya dibawa pergi
dan tidak ada yang beres (Skenario Indonesia 2025 dan Tantangan yang Dihadapi
oleh Administrasi Publik: 2009)
Sementara R Siti Zuhro dkk mencatat, LSM di Sulsel belum
menunjukkan perannya yang signifikan. Tidak sedikit LSM bermain dua kaki.
Di satu sisi mereka mengkritisi pemerintah dan DPRD, di sisi lain mereka
mencari proyek untuk mempertahankan hidup. LSM dinilai belum mampu mendampingi
masyarakat mengorganisasi ide dan gagasan. LSM yang seharusnya menjadi
cikal-bakal kelas menengah, di tataran praksis, tidak berkembang dan tidak
mampu menjadi penarik gerbong demokrasi. Namun, bukan berarti civil society di
daerah ini tidak bekerja sama sekali (Model Demokrasi Lokal: 2011).
Syam maupun Muttalib masih yakin, organisasi masyarakat sipil bisa
berperan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Menurut Syam, Kopel mendorong
masyarakat lebih berani mengungkap saat mereka merasa dirugikan pejabat publik
ataupun birokrasi. Mereka terdidik lewat pertemuan konstituen yang diinisiasi
sejak menjelang Pemilu 2004. Banyak mata yang kini menyoroti perumusan
kebijakan publik. ”Paling kurang, kami mengganggu anggota DPRD yang mau
korupsi,” kata Syam.
Pengajar Universitas Hasanuddin, Adi Suryadi Culla, mengingatkan,
organisasi masyarakat sipil semestinya tumbuh dari masyarakat sehingga idealnya
masyarakat pula yang membiayai organisasi itu. Kemandirian bisa dilahirkan
karena kedekatan dengan masyarakat sebagai penyokongnya, juga manakala
organisasi itu punya semacam sayap usaha untuk membiayai diri sendiri.
Namun, realitas di lapangan, organisasi masyarakat sipil tak lahir
sebagai gerakan yang independen. Lembaga lebih banyak bergantung pada dana
internasional, sekalipun itu tak bisa serta-merta dipastikan, bakal ada
intervensi. Namun, kebergantungan pada program donor bisa menjadikan organisasi
masyarakat sipil kerap lupa menggarap isu lokal khas.
Tantangan bagi elemen masyarakat sipil di Sulsel. Bisa?
(Sidik
Pramono/Aswin Rizal Harahap)
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar