Laman

Minggu, 19 Agustus 2012

Konsolidasi Demokrasi Sulawesi Selatan ( V )

Potret Lembaga Pengganggu Koruptor
 KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP
Suasana diskusi tentang penyelewengan dana APBD dan kasus korupsi lain di Kantor Komite Pemantau Legislatif (Kopel) di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kopel menjadi salah satu lembaga swadaya masyarakat yang aktif menyuarakan kritik terhadap praktik korupsi di instansi pemerintah.
 
Tak mudah menemukan ruang kosong untuk memarkir mobil di halaman sebuah rumah dua lantai di kawasan Batua Raya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tak ada papan nama mencolok, tetapi aktivitas di dalam rumah terasa sejak di luar pagar. Barisan motor terparkir di depan rumah. Di lantai bawah, beberapa anak muda menekuni tumpukan dokumen. Lantai dua digunakan untuk pertemuan.
Itulah kantor Komite Pemantau Legislatif (Kopel), lembaga nonpemerintah yang berpusat di Kota Makassar. Secara legal, Kopel didirikan 10 Maret 2000. Awalnya mesti berpindah-pindah, tapi kini punya kantor sendiri. Mereka dapat tanah 140-an meter persegi dengan harga relatif murah. Bangunan dua lantai didirikan bertahap. Banyak pejabat daerah hadir saat peresmian. Tawaran bantuan mengalir, tapi ditolak agar tetap independen. ”Kalau diterima, bisa kalah (megah) itu kantor polda,” canda Direktur Eksekutif Kopel Syamsuddin Alimsyah.
Kopel terhitung sebagai organisasi masyarakat sipil yang kini naik pamor. Sempat jatuh-bangun di awal pendirian, berbagai lembaga donor nasional dan internasional merujuk Kopel sebagai mitra. Bisa enam program sekaligus mereka kerjakan setahun. Kopel kini punya perwakilan di Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta, dan Sumatera Utara.
Kondisi berbeda dihadapi Anti-Corruption Committee (ACC), organisasi yang pernah dipimpin Abraham Samad, yang kini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menempati rumah-toko di pertokoan Pettarani, Kota Makassar. Kantor itu disewa, mereka terbiasa berpindah.
Lembaga yang dideklarasikan 26 Desember 1998 ini hidup dari para pendiri dan pengurus. Sesekali ada program dari lembaga donor. Sebagai lembaga antikorupsi, mereka selektif menggandeng mitra. Sekadar ajakan berkoalisi dengan lembaga lain pun mesti dicermati. Jangan sampai ada ”penyusup” yang kemudian menorehkan noda. Integritas pertama, mungkin juga segalanya. ”Sekali kena, risikonya mana orang akan percaya?” kata Ketua Badan Pekerja ACC Abdul Muttalib.
Para staf tak bisa sepenuhnya mengandalkan pendapatan dari ACC. Muttalib membuka praktik pengacara. Prinsip mantan aktivis mahasiswa ini jelas. Klien terindikasi korupsi, tak mungkin ia bela meski ia bisa mendapatkan banyak uang dari sana. Kok bisa bertahan? ”Istriku pegawai negeri,” kata mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar ini, sambil tersenyum.
Kehadiran organisasi masyarakat sipil dibutuhkan untuk menjembatani masyarakat dengan negara atau partai politik dan birokrasi. Kehadiran organisasi masyarakat sipil di Sulsel, khususnya di Makassar, diwarnai catatan tak menyenangkan.
Menurut penelitian Roy V Salomo, LSM di Makassar, bahkan di Sulsel, pernah berembuk mengganti sebutan jadi organisasi nonpemerintah (ornop) karena reputasi LSM yang buruk. Pemicunya, penyelewengan kredit usaha tani oleh LSM. LSM diolok-olok dengan istilah ”Lao Sala Maneng”, semuanya dibawa pergi dan tidak ada yang beres (Skenario Indonesia 2025 dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik: 2009)
Sementara R Siti Zuhro dkk mencatat, LSM di Sulsel belum menunjukkan perannya yang signifikan. Tidak sedikit LSM bermain dua kaki. Di satu sisi mereka mengkritisi pemerintah dan DPRD, di sisi lain mereka mencari proyek untuk mempertahankan hidup. LSM dinilai belum mampu mendampingi masyarakat mengorganisasi ide dan gagasan. LSM yang seharusnya menjadi cikal-bakal kelas menengah, di tataran praksis, tidak berkembang dan tidak mampu menjadi penarik gerbong demokrasi. Namun, bukan berarti civil society di daerah ini tidak bekerja sama sekali (Model Demokrasi Lokal: 2011).
Syam maupun Muttalib masih yakin, organisasi masyarakat sipil bisa berperan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Menurut Syam, Kopel mendorong masyarakat lebih berani mengungkap saat mereka merasa dirugikan pejabat publik ataupun birokrasi. Mereka terdidik lewat pertemuan konstituen yang diinisiasi sejak menjelang Pemilu 2004. Banyak mata yang kini menyoroti perumusan kebijakan publik. ”Paling kurang, kami mengganggu anggota DPRD yang mau korupsi,” kata Syam.
Pengajar Universitas Hasanuddin, Adi Suryadi Culla, mengingatkan, organisasi masyarakat sipil semestinya tumbuh dari masyarakat sehingga idealnya masyarakat pula yang membiayai organisasi itu. Kemandirian bisa dilahirkan karena kedekatan dengan masyarakat sebagai penyokongnya, juga manakala organisasi itu punya semacam sayap usaha untuk membiayai diri sendiri.
Namun, realitas di lapangan, organisasi masyarakat sipil tak lahir sebagai gerakan yang independen. Lembaga lebih banyak bergantung pada dana internasional, sekalipun itu tak bisa serta-merta dipastikan, bakal ada intervensi. Namun, kebergantungan pada program donor bisa menjadikan organisasi masyarakat sipil kerap lupa menggarap isu lokal khas.
Tantangan bagi elemen masyarakat sipil di Sulsel. Bisa? 
(Sidik Pramono/Aswin Rizal Harahap)
Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar