Melepas Kungkungan Etnisitas
Sidik Pramono dan Aswin Rizal Harahap
”Waktu itu orang-orang bilang dia orang Toraja, padahal bukan,”
cerita seorang warga Jeneponto pada pertengahan Juli lalu. Pria yang bekerja di
Makassar itu mengenang pengalaman saat Pemilihan Umum Gubernur Sulawesi Selatan
2007. Informasi mengenai asal-usul etnis para calon kuat diembus-embuskan,
mengalir dari mulut ke mulut.
Entah oleh siapa, tapi tujuannya jelas. Faktor asal-usul itu
diharapkan menjadi preferensi pilihan atas kandidat yang maju. Bahkan, kalau
perlu informasi ”dibelok-belokkan” untuk mengaburkan latar belakang seorang
calon. Ujung akhirnya adalah soal kedekatan. Pemilih diharapkan memberikan
suara untuk calon yang seasal-usul. ”Namanya orang desa, yang banyak dibilang orang
itulah yang dipercaya. Tapi itu dulu. Kalau buat pilgub depan belum tahu,” kata
bapak dua anak ini tertawa.
Pada pemilu gubernur Sulsel 22 Januari 2013, tiga pasangan calon
bakal maju bersaing. Mereka adalah Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang,
Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar, Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir
Pasinringi. Keseimbangan representasi etnis, disengaja atau tidak,
teridentifikasi dari masing-masing pasangan.
Syahrul Yasin Limpo adalah representasi orang Makassar. Ia pernah
menjabat Bupati Gowa, posisi yang kini dijabat oleh adiknya, Ichsan. Keluarga
Syahrul terhitung sukses, menonjol di politik dan birokrasi. Mendiang ayahnya,
Muh Yasin Limpo, adalah bangsawan asal Cikoang-Bontonompo, pernah menjadi
Bupati Maros, Gowa, dan Takalar. Ibunya, Nurhayati pernah menjadi anggota DPR.
Agus Arifin Nu’mang terlahir berdarah bangsawan Bugis. Agus pernah
menjadi Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan sebelum kemudian maju sebagai
calon wakil gubernur mendampingi Syahrul. Ayahnya, Arifin Nu’mang, adalah
Bupati Sidenreng Rappang (Sidrap) pada kurun 1966-1978. Nama sang ayah kini
diabadikan sebagai nama rumah sakit umum daerah di Kabupaten Sidrap.
Ilham Arief Sirajuddin sekarang Wali Kota Makassar untuk periode
kedua. Aco, begitu panggilan akrabnya, lahir dan besar di Makassar sekalipun
sempat menempuh pendidikan SMA di Bandung. Ayahnya pernah menjadi Bupati
Gowa. Sekalipun begitu, kebanyakan orang mafhum Ilham adalah orang Bugis Bone.
Aziz Qahhar Mudzakkar jelas memiliki darah kental Luwu, Bugis-tua.
Dalam pemilu gubernur kali ini, ia adalah satu-satunya calon yang asli Luwu.
Persaudaraan orang Luwu, to wija Luwu, mendapat ujian. Kondisi dilematis bakal
menghinggapi saudaranya yang lain, Andi Mudzakkar, yang kini Bupati sekaligus
Ketua Partai Golkar Luwu. ”Hubungan keluarga tidak mungkin dipisahkan. Tapi kan
organisasi juga punya aturan sendiri,” kata Maqbul Halim, juru bicara Partai
Golkar Sulsel.
Andi Rudiyanto Asapa menjadi Bupati Sinjai sejak 2003. Gelar Andi
menunjukkan posisinya sebagai bangsawan Bugis. Istrinya punya darah Toraja.
Rudi yang dikenal dekat dengan kelompok aktivis pernah memimpin Lembaga Bantuan
Hukum Ujungpandang. Rudi pernah menjadi pengacara untuk aktivis mahasiswa
korban represi rezim Orde Baru.
Andi Nawir Pasinringi kini anggota DPRD Provinsi Sulsel dari
Partai Demokrat. Nawir pernah dua periode menjadi Bupati Pinrang. Kesediaannya
maju sebagai calon wakil gubernur berarti ”menantang” Partai Demokrat yang
mengajukan Ilham. Nawir pernah kalah bersaing dengan Ilham saat memperebutkan
posisi Ketua Partai Demokrat Sulsel.
Sentimen primordial
Sulawesi Selatan diidentifikasi sebagai gabungan dari etnis
Makassar, Bugis, Toraja/Luwu, dan juga Mandar—kini wilayah yang menjadi basis
tradisionalnya telah menjadi Provinsi Sulawesi Barat. Basis tradisional orang
Makassar, terutama wilayah Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto,
dan Selayar. Basis tradisional orang Bugis berada di wilayah tengah Sulsel,
terutama poros Bone, Soppeng, dan Wajo. Basis etnis Toraja berada di wilayah Tana
Toraja, seperti juga Luwu di wilayah Kabupaten Luwu berikut daerah hasil
pemekarannya.
Sentimen etnis terjadi di tingkat elite politik, juga berpengaruh
atau berdampak terhadap masyarakat. Sentimen primordial itu juga tampak jelas
dalam birokrasi pemerintahan. Siapa pun yang memegang eselon I, misalnya, orang
yang berada di bawahnya harus berasal dari suku yang sama. Ketika orang Bone
dominan di birokrasi, para pegawai memanggil atasannya dengan sebutan ”puang”
walau mereka bukan turunan bangsawan. Pasca-pemilihan gubernur 2007, karena
yang menang adalah Syahrul Yasin Limpo yang notabene orang Gowa Makkasar,
penyebutannya pun berubah menjadi ”karaeng” (Siti Zuhro: Model Demokrasi
Lokal).
Mengutip tesis Sugiprawaty (Etnisitas, Primordialisme, dan
Jejaring Politik di Sulawesi Selatan: 2009), ruang kontestasi yang terbuka pada
pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulsel tidak lepas dari persaingan
antaretnis dalam merebut superioritas, dominasi, dan hegemoni. Hal ini
disebabkan kemajemukan etnis di Sulsel yang di masa Orde Lama dan Orde Baru
tidak muncul ke permukaan karena berhasil diredam dengan pengangkatan
gubernur oleh pemerintah pusat.
Hal tersebut berubah dengan terbukanya persaingan antarkandidat
menggunakan identitas dan simbol etnis untuk mendapatkan simpati dan suara.
Kemajemukan etnis di Sulsel dalam analisis politik merupakan dua sisi yang
tidak terpisahkan: satu sisi kemajemukan etnis tersebut menjadi sumber harmoni
sosial dan akulturasi politik, sementara di sisi lain dapat menjadi sumber konflik
dan disintegrasi yang laten.
Pengajar Universitas Islam Negeri Alauddin, Muhammad Sabri AR,
menyebutkan, politik identitas adalah hal yang mengendap di struktur alam bawah
sadar, sekalipun tak terang-terangan dimunculkan sebagai jargon politik. Dengan
kondisi sosial yang terus berkembang, termasuk adanya kawin-mawin antaretnis,
semestinya perbenturan identitas itu tak akan mudah lagi.
Masyarakat Sulsel, terutama elite politiknya, yang menentukan
apakah faktor etnisitas masih menjadi pokok soal dalam persaingan.
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar