Laman

Minggu, 19 Agustus 2012

Konsolidasi Demokrasi Sulawesi Selatan ( III )


Melepas Kungkungan Etnisitas

Sidik Pramono dan Aswin Rizal Harahap
”Waktu itu orang-orang bilang dia orang Toraja, padahal bukan,” cerita seorang warga Jeneponto pada pertengahan Juli lalu. Pria yang bekerja di Makassar itu mengenang pengalaman saat Pemilihan Umum Gubernur Sulawesi Selatan 2007. Informasi mengenai asal-usul etnis para calon kuat diembus-embuskan, mengalir dari mulut ke mulut.
Entah oleh siapa, tapi tujuannya jelas. Faktor asal-usul itu diharapkan menjadi preferensi pilihan atas kandidat yang maju. Bahkan, kalau perlu informasi ”dibelok-belokkan” untuk mengaburkan latar belakang seorang calon. Ujung akhirnya adalah soal kedekatan. Pemilih diharapkan memberikan suara untuk calon yang seasal-usul. ”Namanya orang desa, yang banyak dibilang orang itulah yang dipercaya. Tapi itu dulu. Kalau buat pilgub depan belum tahu,” kata bapak dua anak ini tertawa.
Pada pemilu gubernur Sulsel 22 Januari 2013, tiga pasangan calon bakal maju bersaing. Mereka adalah Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang, Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar, Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir Pasinringi. Keseimbangan representasi etnis, disengaja atau tidak, teridentifikasi dari masing-masing pasangan.
Syahrul Yasin Limpo adalah representasi orang Makassar. Ia pernah menjabat Bupati Gowa, posisi yang kini dijabat oleh adiknya, Ichsan. Keluarga Syahrul terhitung sukses, menonjol di politik dan birokrasi. Mendiang ayahnya, Muh Yasin Limpo, adalah bangsawan asal Cikoang-Bontonompo, pernah menjadi Bupati Maros, Gowa, dan Takalar. Ibunya, Nurhayati pernah menjadi anggota DPR.
Agus Arifin Nu’mang terlahir berdarah bangsawan Bugis. Agus pernah menjadi Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan sebelum kemudian maju sebagai calon wakil gubernur mendampingi Syahrul. Ayahnya, Arifin Nu’mang, adalah Bupati Sidenreng Rappang (Sidrap) pada kurun 1966-1978. Nama sang ayah kini diabadikan sebagai nama rumah sakit umum daerah di Kabupaten Sidrap.
Ilham Arief Sirajuddin sekarang Wali Kota Makassar untuk periode kedua. Aco, begitu panggilan akrabnya, lahir dan besar di Makassar sekalipun sempat menempuh pendidikan SMA di Bandung. Ayahnya pernah menjadi Bupati Gowa. Sekalipun begitu, kebanyakan orang mafhum Ilham adalah orang Bugis Bone.
Aziz Qahhar Mudzakkar jelas memiliki darah kental Luwu, Bugis-tua. Dalam pemilu gubernur kali ini, ia adalah satu-satunya calon yang asli Luwu. Persaudaraan orang Luwu, to wija Luwu, mendapat ujian. Kondisi dilematis bakal menghinggapi saudaranya yang lain, Andi Mudzakkar, yang kini Bupati sekaligus Ketua Partai Golkar Luwu. ”Hubungan keluarga tidak mungkin dipisahkan. Tapi kan organisasi juga punya aturan sendiri,” kata Maqbul Halim, juru bicara Partai Golkar Sulsel.
Andi Rudiyanto Asapa menjadi Bupati Sinjai sejak 2003. Gelar Andi menunjukkan posisinya sebagai bangsawan Bugis. Istrinya punya darah Toraja. Rudi yang dikenal dekat dengan kelompok aktivis pernah memimpin Lembaga Bantuan Hukum Ujungpandang. Rudi pernah menjadi pengacara untuk aktivis mahasiswa korban represi rezim Orde Baru.
Andi Nawir Pasinringi kini anggota DPRD Provinsi Sulsel dari Partai Demokrat. Nawir pernah dua periode menjadi Bupati Pinrang. Kesediaannya maju sebagai calon wakil gubernur berarti ”menantang” Partai Demokrat yang mengajukan Ilham. Nawir pernah kalah bersaing dengan Ilham saat memperebutkan posisi Ketua Partai Demokrat Sulsel.
Sentimen primordial
Sulawesi Selatan diidentifikasi sebagai gabungan dari etnis Makassar, Bugis, Toraja/Luwu, dan juga Mandar—kini wilayah yang menjadi basis tradisionalnya telah menjadi Provinsi Sulawesi Barat. Basis tradisional orang Makassar, terutama wilayah Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, dan Selayar. Basis tradisional orang Bugis berada di wilayah tengah Sulsel, terutama poros Bone, Soppeng, dan Wajo. Basis etnis Toraja berada di wilayah Tana Toraja, seperti juga Luwu di wilayah Kabupaten Luwu berikut daerah hasil pemekarannya.
Sentimen etnis terjadi di tingkat elite politik, juga berpengaruh atau berdampak terhadap masyarakat. Sentimen primordial itu juga tampak jelas dalam birokrasi pemerintahan. Siapa pun yang memegang eselon I, misalnya, orang yang berada di bawahnya harus berasal dari suku yang sama. Ketika orang Bone dominan di birokrasi, para pegawai memanggil atasannya dengan sebutan ”puang” walau mereka bukan turunan bangsawan. Pasca-pemilihan gubernur 2007, karena yang menang adalah Syahrul Yasin Limpo yang notabene orang Gowa Makkasar, penyebutannya pun berubah menjadi ”karaeng” (Siti Zuhro: Model Demokrasi Lokal).
Mengutip tesis Sugiprawaty (Etnisitas, Primordialisme, dan Jejaring Politik di Sulawesi Selatan: 2009), ruang kontestasi yang terbuka pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulsel tidak lepas dari persaingan antaretnis dalam merebut superioritas, dominasi, dan hegemoni. Hal ini disebabkan kemajemukan etnis di Sulsel yang di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak muncul ke permukaan karena berhasil diredam dengan pengangkatan gubernur oleh pemerintah pusat.
Hal tersebut berubah dengan terbukanya persaingan antarkandidat menggunakan identitas dan simbol etnis untuk mendapatkan simpati dan suara. Kemajemukan etnis di Sulsel dalam analisis politik merupakan dua sisi yang tidak terpisahkan: satu sisi kemajemukan etnis tersebut menjadi sumber harmoni sosial dan akulturasi politik, sementara di sisi lain dapat menjadi sumber konflik dan disintegrasi yang laten.
Pengajar Universitas Islam Negeri Alauddin, Muhammad Sabri AR, menyebutkan, politik identitas adalah hal yang mengendap di struktur alam bawah sadar, sekalipun tak terang-terangan dimunculkan sebagai jargon politik. Dengan kondisi sosial yang terus berkembang, termasuk adanya kawin-mawin antaretnis, semestinya perbenturan identitas itu tak akan mudah lagi.
Masyarakat Sulsel, terutama elite politiknya, yang menentukan apakah faktor etnisitas masih menjadi pokok soal dalam persaingan.

Sumber : Kompas.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar