Dari Desa Padang Sampai Bara
Sidik Pramono dan Aswin Rizal Harahap
KOMPAS/ASWIN
RIZAL HARAHAP
Suasana
Desa Padang, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di
desa ini, ada peraturan desa tentang keagamaan yang memberikan sanksi berupa
hukum cambuk bagi pemeluk agama Islam yang melanggar norma dan etika.
Perawakannya kurus, tetapi ototnya terlihat liat. Tinggi 160-an
sentimeter, dengan potongan rambut cepak. Jumat pertengahan Juni lalu, saat
menerima Kompas, ia bercelana loreng di bawah lutut. Kausnya bertuliskan
kegiatan satuan militer. ”Orang sering mengira saya tentara,” katanya tertawa.
Dialah Andi Rukman Jabbar. Jabatan resminya Kepala Desa Padang,
Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sesekali ia pula
yang harus tega mengayunkan potongan bambu ke badan warganya yang terbukti
bersalah melanggar peraturan desa.
Seusai shalat Jumat itu, Rukman sedang di rumah. Kantor Desa
Padang hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Saat itu, listrik padam,
kantor pun sepi. Pintu ruang kerja Rukman masih dibiarkan terbuka dengan kunci
yang menggantung. Padahal, ada barang berharga, seperti perangkat komputer di
ruangannya. ”Di sini aman. Orang takut mencuri,” kata Rukman meyakinkan.
Desa Padang pernah ramai menjadi bahan berita. Bukan karena desa
berpenduduk 900-an keluarga itu merupakan pemasok tenaga kerja ke luar negeri,
melainkan Peraturan Desa Muslim Padang Nomor 5 Tahun 2006 mengenai Pelaksanaan
Hukum Cambuk yang menjadi pokok soal.
Dalam peraturan yang diteken pada 28 Januari 2006 tersebut dimuat
soal hukum cambuk bagi pelanggar hukum syariat kepada pelaku perzinahan,
peminum minuman beralkohol dan zat adiktif lainnya, judi, serta penganiayaan.
Misalnya, penjual dan peminum minuman beralkohol dan zat adiktif lainnya
dikenai hukum cambuk 40 kali. Pelaku perzinahan bisa dicambuk 100 kali atau
dilimpahkan ke kepolisian untuk diperoses sesuai hukum KUHP.
Pelaksanaan eksekusi hukum cambuk bertempat di kantor desa dan
disaksikan oleh sejumlah tokoh masyarakat atau tokoh agama dan aparat desa.
”Tidak seperti di Aceh yang dicambuk di lapangan dan ditonton banyak orang,”
cerita Rukman. ”(Hukum cambuk di Desa Padang) keras, tetapi bukan penganiayaan.
Untuk efek jera,” tuturnya.
Sekalipun menuai banyak protes dari kalangan luar, Rukman yakin
peraturan desa itu benar. Rukman mengklaim, tak ada masyarakatnya yang menolak
karena mereka merasakan manfaatnya. Dengan hukum cambuk, persoalan bisa selesai
lebih cepat. Warga terhukum pun terbebas dari sanksi sosial. Berbeda halnya
dengan pelimpahan proses ke kepolisian yang tidak serta-merta menghilangkan
sanksi sosial dari masyarakat setempat.
Di sisi lain, Rukman yakin, hukum formal tak bisa memerintahkan
pencabutan peraturan desa itu. ”Kalau mau dicabut, dasarnya apa? Perdes ini kan
tidak ada aturan (lebih atas) yang mengaturnya,” kata Rukman.
Bulukumba terletak di sisi selatan Sulawesi Selatan, sekitar 150
kilometer arah timur Makassar. Mayoritas warganya beragama Islam. Wilayah
berpenduduk sekitar 400.000 jiwa ini sejak dulu dikenal sebagai wilayah
pengembangan Islam. Ulama terkenal penyebar Islam di Bulukumba adalah Khatib
Bungsu bergelar Dato’ Ri Tiro yang datang awal abad ke-17 dari Sumatera.
Daerah ini memiliki peraturan yang ”berbasis syariah Islam”. Bukan
hanya satu, melainkan empat, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2002
tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman
Beralkohol; Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq,
dan Shadaqah; Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah;
serta Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al Quran bagi Siswa dan
Calon Pengantin.
Mantan Bupati Bulukumba Andi Patabai Pabbokori yang ditemui di
Makassar bercerita, perda merupakan formalisasi aspirasi yang tumbuh di
masyarakat dan tak pernah diletakkan dalam konsep pembentukan negara Islam.
Ketika kriminalitas meningkat, anak-anak muda dengan minuman keras menjadi
pemicu keonaran; panggilan amar ma’ruf nahi munkar merupakan pilihan
jalan.
Faktanya, saat peraturan ditetapkan, masyarakat, yang
direpresentasikan oleh DPRD setempat, tak menolak. Pemerintah pusat juga tak
pernah meminta pencabutan. Memang, pengusaha kafe atau perajin minuman
tradisional balo (beralkohol) awalnya memprotes, tetapi akhirnya bersedia
diajak sepaham. Pemerintah membantu pengucuran kredit berbunga ringan. ”Warga
non-Muslim malah senang, mereka tak diganggu sama anak-anak muda yang nakal.”
Butuh tujuh tahun sebelum kemudian Patabai bisa mengegolkan perda
tersebut. Patabai yang dua periode menjabat bupati (1995-2005) menekankan,
sosialisasi dan keteladanan merupakan kunci penegakan aturan. Contohnya,
peraturan soal pungutan pajak profesi diterapkan langsung kepada pejabat
daerah, zakat dikuti dari tunjangan jabatan dan langsung masuk ke kas badan
amil zakat setempat.
Pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Muhammad Sabri
AR, menyebutkan, Islam di Sulsel bisa berkembang karena pertautan eratnya
dengan nilai-nilai kultural. Dialog kultural mesti dilakukan sebelum
nilai-nilai itu bisa dibumikan.
Bulukumba adalah salah satu tujuan wisata terkemuka di Sulsel,
selain Tana Toraja. Bulukumba punya pusat pembuatan pinisi yang amat terkenal
di Tana Beru. Pantai Tanjung Bira dan wilayah sekitarnya dikenal indah dengan
pasir putih sehalus bedak. Di kawasan wisata seperti itu, bir masih boleh
dijual. Seperti kata Patabai, perda itu hanya mengikat warga Muslim Bulukumba.
”Tidak ada yang mengganggu,” cerita Stefan Reinhard, pria muda campuran
Jerman-Batak pengelola Bara Beach Bungalows and Restaurant.
Dalam perjalanan menuju Pantai Bara, berderet rumah, yang
mayoritas bagian mukanya tanpa jendela, bertuliskan ”bar” atau ”karaoke”. Senja
itu, dari atas jalanan berbatu kerakal terlihat perempuan-perempuan muda
bersolek di halaman.
Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar