Oleh: Ingki Rinaldi

KOMPAS/INKI RINALDI
Rea (1 bulan) mencengkeram erat ibunya, Adek (7) dalam kandang di Pulau Marak, Nagari Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Spesies Siamang (Symphalangus syndactylus) itu berada dalam program rehabilitasi yang dijalankan oleh Yayasan Kalaweit.
Adek (7) memelotot dan berteriak-teriak sembari berloncatan dengan sepasang tangan dan kakinya. Bagian tenggoroknya yang bernama kantung gular menggembung hingga seukuran batok kelapa karena merasa terancam.
Di antara perut dan pinggang Adek, kepala mungil Rea (1 bulan) menyembul. Sepasang tangan mungil yang belum ditumbuhi bulu mencengkeram erat.
Bersama Rendi (7), Adek terus berloncatan dan berteriak dalam kandang kawat bercat hijau muda. Adek, Rea, dan Rendi merupakan primata spesies siamang (Symphalangus syndactylus) betina dan jantan.
Ketiganya sedang direhabilitasi oleh Yayasan Kalaweit dan Kalaweit Society dengan pusat di Perancis. Program rehabilitasi itu dimulai pada 2003 dengan kegiatan di Indonesia sejak 1999. Sekitar 90 persen satwa yang direhabilitasi di Pulau Marak, Nagari Sungai Pinang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, berasal dari titipan Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam di seluruh Indonesia dengan 60 persen di antaranya dari Pulau Jawa.
Tidak jauh dari situ, Bro (7 bulan) digendong Ungkong (7), didampingi pasangannya, Browny (7). Mereka adalah spesies owa (Hylobates agilis). Tidak seperti Adek, Ungkong yang juga betina tampak tenang dan memilih berada di kandang bagian atas.
Total terdapat 51 siamang, 25 owa, 5 siamang mentawai/bilou (Hylobates klossii), dan 4 beruk mentawai/bokkoi (Macaca pagensis) yang tengah direhabilitasi. Mereka ditempatkan dalam kandang terpisah yang jumlahnya sekitar 50 unit.
Paramedis dan kepala staf Kalaweit di Pulau Marak, Fauzan, mengatakan, segera setelah tiba di Pulau Marak, satwa-satwa itu dimasukkan ke kandang karantina. Jika ditemukan penyakit, satwa-satwa itu diobati di kandang perlindungan.
Tahapan berikutnya ada di kandang sosialisasi. Pada proses ini, siamang atau owa dicarikan calon pasangan.
Di antara perut dan pinggang Adek, kepala mungil Rea (1 bulan) menyembul. Sepasang tangan mungil yang belum ditumbuhi bulu mencengkeram erat.
Bersama Rendi (7), Adek terus berloncatan dan berteriak dalam kandang kawat bercat hijau muda. Adek, Rea, dan Rendi merupakan primata spesies siamang (Symphalangus syndactylus) betina dan jantan.
Ketiganya sedang direhabilitasi oleh Yayasan Kalaweit dan Kalaweit Society dengan pusat di Perancis. Program rehabilitasi itu dimulai pada 2003 dengan kegiatan di Indonesia sejak 1999. Sekitar 90 persen satwa yang direhabilitasi di Pulau Marak, Nagari Sungai Pinang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, berasal dari titipan Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam di seluruh Indonesia dengan 60 persen di antaranya dari Pulau Jawa.
Tidak jauh dari situ, Bro (7 bulan) digendong Ungkong (7), didampingi pasangannya, Browny (7). Mereka adalah spesies owa (Hylobates agilis). Tidak seperti Adek, Ungkong yang juga betina tampak tenang dan memilih berada di kandang bagian atas.
Total terdapat 51 siamang, 25 owa, 5 siamang mentawai/bilou (Hylobates klossii), dan 4 beruk mentawai/bokkoi (Macaca pagensis) yang tengah direhabilitasi. Mereka ditempatkan dalam kandang terpisah yang jumlahnya sekitar 50 unit.
Paramedis dan kepala staf Kalaweit di Pulau Marak, Fauzan, mengatakan, segera setelah tiba di Pulau Marak, satwa-satwa itu dimasukkan ke kandang karantina. Jika ditemukan penyakit, satwa-satwa itu diobati di kandang perlindungan.
Tahapan berikutnya ada di kandang sosialisasi. Pada proses ini, siamang atau owa dicarikan calon pasangan.
Selama dalam perawatan, satwa-satwa itu diberi makan berupa pisang, mentimun, buncis, wortel, dan sebagainya. Tidak kurang dari 500 tandan pisang dibutuhkan setiap bulan. Buah dan sayuran dicuci dan disucihamakan.
Sesekali mereka diberikan susu, telur, daging ayam, dan vitamin. Namun, salah satu vitamin yang dahulu dipakai kini diganti. Pasalnya, produk itu mengandung docosahexaenoic acid (DHA) yang berpengaruh pada perkembangan otak siamang. ”Mereka jadi makin cerdik setelah diberi vitamin itu, akhirnya vitaminnya diganti dengan merek lain yang tidak mengandung DHA,” kata Fauzan.
Cek darah dilakukan tiga bulan sekali. Pemeriksaan feses dilakukan tiap enam bulan, yang didahului pemberian obat cacing. ”Penyakit satwa ini adalah hepatitis, herpes, dan TBC karena virus. Penyakit karena bakteri biasanya tifus,” kata drh Dyahayu Risdasari Tiyar Noviarini yang bertugas di Pulau Marak.
Hal yang juga dikhawatirkan ialah kemungkinan penularan penyakit dari manusia kepada siamang atau sebaliknya. Masker jadi perlengkapan standar sebelum manusia mendekati kandang-kandang satwa itu.
Manajer Umum Kalaweit Asferi Ardiyanto mengatakan, status siamang dan owa kini terancam. Keberadaannya di Indonesia dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Asferi mengatakan, dalam 20 tahun terakhir populasi satwa ini menurun drastis karena kawasan hutan berkurang akibat penebangan liar dan perburuan.
Siamang tersebar di Sumatera, sebagian Malaysia, serta kawasan Asia Tenggara dengan jenis berbeda.

KOMPAS/INKI RINALDI
Rea (1 bulan) mencengkeram erat ibunya, Adek (7) dalam kandang di Pulau Marak, Nagari Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Spesies Siamang (Symphalangus syndactylus) itu berada dalam program rehabilitasi yang dijalankan oleh Yayasan Kalaweit.
Asferi menambahkan, evaluasi dari beberapa kali pelepasliaran adalah belum kembalinya kebiasaan asli siamang secara sempurna. Seharusnya siamang hidup 100 persen di atas pohon karena terkait dengan makanannya. Sebesar 60 persen makanan berasal dari dedaunan, 35 persen dari buah-buahan, sisanya dari beragam jenis serangga.
Kandidat siamang yang siap mesti memenuhi tiga kriteria. Pertama, berfokus pada pemanfaatan ruang atas kandang. Kedua, tidak memiliki keterkaitan dan bahkan enggan dekat dengan manusia. Ketiga, punya kecocokan dengan pasangan masing-masing.
Asferi mencatat, sejauh ini baru 3 pasang siamang, 2 kucing hutan, 2 elang, dan 3 kukang yang dilepasliarkan. Lokasinya di kawasan lindung nasional dalam hutan Cagar Alam Barisan I wilayah Sumbar.
Pada September 2012, 10 pasang atau 20 ekor direncanakan bakal dilepasliarkan ke kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Jambi. Lokasi itu dipilih setelah daya dukung hutannya dipastikan termasuk pohon kesukaan untuk tidur. ”Kami lakukan monitoring selama satu tahun,” kata Asferi.
Beberapa ekor lainnya dikirim ke Nagari Supayang, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, Sumbar. Lokasi di Solok juga merupakan kawasan rehabilitasi Yayasan Kalaweit. Dalam tiga tahun ke depan, semua primata di Pulau Marak yang tersisa akan dipindahkan ke lokasi baru. Selain di Sumbar, program serupa dilakukan di Kalimantan Tengah.
Peran penting

Program rehabilitasi sangat diperlukan guna mengembalikan siamang dan owa pada fungsinya yang penting dalam ekosistem. Salah satunya, peran siamang sebagai penyebar benih kehidupan berupa biji-bijian aneka tumbuhan.
Peran itu dilakukan sambil hidup berkelompok dengan jumlah mulai dari dua ekor hingga lima ekor per kelompok. Siamang memiliki sifat teritorial yang kuat; menguasai kawasan sembari menebar bibit tumbuhan. Selama satu hari, seekor siamang bisa menyebar biji-bijian hingga seberat 3 kilogram dalam kawasan puluhan hektar.
”Mereka bisa menjelajah dalam kawasan hutan 15-50 hektar,” kata Asferi. Karena itulah, memelihara satwa-satwa ini dalam kandang sama dengan menahan hak hidup mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar