KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Situs Liyangan di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (23/12/2011). Situs Liyangan ditemukan di bawah
Gunung Sindoro di Kabupaten Temanggung pada kedalaman delapan meter di bawah
permukaan tanah. Di sekitar candi ditemukan pula bangunan rumah yang
mengindikasikan adanya permukiman penduduk.
Di kaki Gunung Sindoro, terik matahari terasa menyengat. Peluh
membasahi tubuh Yanto (32), petambang dan petani di Dusun Liyangan, Desa
Purbosari, Temanggung, Jawa Tengah. Namun, ia tak surut mendongkel batu besar
yang tertanam lekat di dinding terjal dengan linggisnya.
"Kami ingin melandaikan dinding terjal ini. Setelah itu, kami
uruk dengan tanah permukaan lagi agar subur dan bisa ditanami," ujar Yanto
sambil terus menancapkan linggis.
Selama bertahun-tahun, Yanto dan warga Liyangan lain menambang
batu di lereng gunung yang terpencil itu. Mereka tak mengira, di balik pasir
dan batu itu tersimpan jejak peradaban dari masa lalu.
Hingga tahun 2008, penggali pasir itu menemukan batu yoni, arca
Ganesha, lumpang, batu pipisan, dan batu bulat panjang yang biasa digunakan
untuk menghaluskan jamu. Pecahan mangkuk keramik juga ditemukan.
Sebagian benda peninggalan peradaban kuno itu disimpan di rumah
Kepala Dusun Liyangan Riyatno Wardoyo (43), termasuk pecahan mangkuk keramik itu.
Di kamar belakang Riyatno tergeletak alat cetak logam yang terbuat dari tanah
liat, juga guci kecil yang hiasannya masih sangat kasar.
Riyatno beberapa kali mencoba menggabungkan pecahan keramik itu,
tetapi selalu gagal. Hingga siang itu, 23 Desember 2011, Niken Wirasanti,
arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berseru gembira saat
berhasil menggabungkan pecahan keramik itu menjadi satu mangkuk yang utuh.
"Keramik dari China ini bisa menjadi petunjuk sudah ada hubungan dengan
dunia luar sejak sekitar abad ke-8 Masehi," ujar Niken.
Sementara dari temuan guci kuno yang somplak pada bagian mulutnya
itu, Niken meyakini masyarakat saat itu telah membuat gerabah sendiri. Guci itu
dibuat oleh masyarakat Liyangan. Teknik pembuatannya masih kasar.
Di rumah Riyatno juga terdapat beberapa patung setengah jadi.
Pembuatan patung tidak diteruskan karena ada kesalahan saat memahat sehingga
bagian yang seharusnya menjadi tangan atau kepala patah. Satu patung tanpa
kepala diduga akan dibuat menjadi Ganesha dengan melihat postur patung yang
berperut buncit, posisi duduk, dan bagian belalai yang patah. Ada juga patung
yang kepalanya patah separuh yang diduga akan dibuat menjadi patung Durga.
Niken menilai, pola hias yang sangat sederhana dan teknik
pembuatan patung yang kasar menunjukkan peradaban Liyangan masih sangat awal.
Pola hias yang sederhana pada batu-batu candi di Liyangan lebih mirip dengan
candi di Dieng yang dibangun sekitar abad ke-7, lebih tua dibandingkan dengan
candi-candi di lereng selatan Gunung Merapi yang pahatan hiasannya rumit dan
halus.
Agraris
Jejak kehidupan agraris di Liyangan terekam dalam bulir padi yang
terbakar awan panas dan ditemukan Balai Arkeologi Yogyakarta saat melakukan
ekskavasi. Bulir-bulir padi yang menjadi arang itu terkubur material letusan
Gunung Sindoro setebal 6-8 meter.
Awan panas menghapus Liyangan kuno dari rekaman waktu selama 1.037
tahun hingga ditemukan kembali pada 2008. Para petambang pasir membongkar
"kuburan" itu dan kampung pada zaman Mataram Kuno pun tersingkap.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Sugeng Riyanto,
mengatakan, sejak masyarakat melaporkan temuan itu, Balai Arkeologi Yogyakarta
mulai meneliti kawasan itu pada tahun 2000 dan dilanjutkan pada 2009 dan 2010.
"Tahun 2000, kami menemukan batu yang konstruksinya mirip
talut dan beberapa komponen batu candi ataupun arca di ketinggian 1.100-1.200
meter di atas permukaan laut," ujar Sugeng.
Penggalian itu mengungkap sebuah permukiman Mataram Kuno. Selain
candi, juga ditemukan bekas dinding bangunan dari bambu dan tiang rumah yang
telah menjadi arang. Dengan meneliti umur bambu yang telah berubah menjadi
arang, Balai Arkeologi Yogyakarta berkesimpulan, pemusnahan peradaban akibat
letusan Gunung Sindoro yang sangat dahsyat itu terjadi sekitar tahun 971 Masehi.
Ingatan terputus
Liyangan bukan satu-satunya jejak peradaban Mataram yang terkubur
letusan gunung api dan kemudian ditemukan secara tak sengaja. Dampak letusan
gunung api terekam sepanjang penelusuran di lereng selatan Gunung Merapi.
Puluhan candi yang dibangun di lereng Merapi sekitar abad ke-9 terkubur oleh
awan panas dan banjir lahar.
Hidup dikepung gunung api membuat kehidupan dan peradaban di Bumi
Mataram pada masa lalu dipengaruhi letusan-letusan gunung api. Pusat Kerajaan
Mataram Kuno diperkirakan berpindah-pindah mulai dari Dieng, lalu ke Magelang,
hingga ke sekitar Prambanan, sebelum kemudian tiba-tiba menghilang dan
berpindah ke Jawa Timur. Banyak yang menduga perpindahan ini karena dampak
letusan gunung api, selain gempa bumi dan pergolakan politik.
Jejak kehidupan dari masa lalu yang terkubur material gunung api
ini biasanya terlupakan sampai ditemukan secara kebetulan oleh masyarakat yang
sedang menggarap lahan, membangun rumah, atau menambang pasir. Masyarakat yang
menghuni kawasan Liyangan, misalnya, tak pernah mengira di bawah timbunan pasir
di pinggir desa mereka pernah ada perkampungan padat pada masa lalu yang
kemudian musnah karena letusan Gunung Sindoro.
Geolog dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, Helmy
Murwanto, mengatakan, penemuan situs Liyangan semestinya juga menjadi pengingat
tentang jejak bencana akibat letusan Gunung Sindoro pada masa lalu. Terakhir,
Gunung Sindoro meletus pada 1910 sehingga masyarakat kemungkinan tak memiliki
memori tentang letusan dahsyat gunung ini. Padahal, gunung api aktif yang sudah
lama terdiam ini pernah memiliki jejak mematikan. Peradaban yang kini dibangun
banyak yang berdiri di atas tapak bencana pada masa lalu. Sumber : Kompas.com/tanahair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar