
Satu Gubernur dan Tiga Bupati Pernah Menetap Disini
Sebuah ‘kampung kecil’ di tengah gegap gempita ibukota ini menyimpan banyak kisah para perantau Flores Timur dari zaman dulu hingga sekarang. Suasana Nagi sangat kental di sini.
“Lia lampu menyala di Pante Uste e , orang bekarang di angin sejo e. Inga pa,mo ema jao e. So inga ade,mo kaka jao e. Sayup-sayup terdengar syair lagu… “ “Bale Nagi “ mengalun ketika kaki melangkah di senja itu kami memasuki kampung Kwini. Berada di tengah pusat kota Jakarta, Kwini yang terletak di kelurahan Senen menjadi saksi bisu sukses orang Larantuka (biasa diistilakan dengan orang Nagi) di rimba belantara Jakarta.
Pemukiman Kwini di mulai era 1947. Bapak Josep Carolus Sukan menjadi orang pertama yang menetap di Kwini. ”Bapak Sukan seorang pensiunan tentara KNIL yang mengelana keliling Jawa Barat dan pernah merantau hingga ke Hongkong dan Vietnam,” seperti dikisahkan Ibu Fransiska Sukan tentang almarhum ayahanda. Di tengah obrolan, santai sambil menengak secangkir kopi ditemani pisang goreng, ceritera mengenai Kwini mengalun lepas penuh canda tawa.
Setelah Opa Sukan (nama akrab Bapak JC Sukan) menetap, Dominikus de Rosari (Opa Ciku) dan Gregorius Ongebele (Opa Goris) diajak ikut menetap di sini”, ujar isteri bapak Aloyisius da Silva (Om Wis) ini melanjutkan. Di usia yang masih muda 20 tahun, mereka bertiga menjadi tentara KNIL. “Mau tidak mau, mereka wajib menjadi tentara KNIL karena sudah merantau ke Jawa,” ujar Tanta Sis, panggilan akrabnya.
Sekitar tahun 50-an baru masuk beberapa orang Nagi seperti Bapak Hengki Mukin (mantan Bupati Flotim), Damianus Fernandez ( Om Nanu), Ignatius Kolin (Om Nasu), Dominikus Matutina (Om Domi) dan Yakobus Malington (Bapaknya Sherly Marlington, penyanyi era 80-an) ke Kwini,kata kakak Ipar Vikjen Keuskupan Larantuka ini.
Yohanes Lesiangi dan Adrianus Batihenu merupakan dedengkot orang Timor di Kwini di samping Isac Taulo dan bapak Alex Nafi. “Orang Timor berdiam di depan jalan masuk Kwini ,No.8, sedangkan Orang Nagi (Flotim) menetap di belakang,” beber Ibu dari Geri dan Cori ini penuh semangat. Banyaknya orang Nagi dan Timor yang berdiam di sini membuat bahasa Nagi menjadi bahasa yang sering dipergunakan dalam berdialog sehari-hari. “Ido di Kwini ni, so macam tingga di Nagi jo,” ujar Eman de Rosary dalam bahasa Nagi. Maksudnya, ”Menetap di Kwini hampir mirip dengan tinggal di Larantuka”. Suasana di sini tidak jauh beda dengan di Larantuka.
Alumni Kwini banyak yang telah sukses. Kwini yang masuk dalam Kecamatan Senen, Jakarta Pusat ini telah menghasilkan satu gubernur dan tiga bupati. Bapak Hengky Mukin (mantan Bupati), Bapak Felik Fernandez (mantan bupati) dan terakhir Bapak Yoseph Lagadoni Herin (bupati sekarang) merupakan nama-nama yang pernah dan sekarang menjabat Bupati Flores Timur. Pak Yosni sempat melewati penggalan hidupnya di rantau dengan tinggal di Kwini, bersama abangnya Pak Stanis Herin, yang diajak oleh Gerard da Silva (Pa Adu) yang tak lain adalah keponakan Om Wis dan Tanta Siska. Pa Adu sendiri sudah lebih dulu tinggal di Kwini, ikut bapa tiunya. Rumah Bapa JC Sukan/Tanta Siska lah yang dikontrak oleh Pak Stanis. Sempat tinggal bersama Pak Stanis dan Pak Yosni adalah Pa Jack (panggilan akrab untuk Frans Roy Lewar). Kemudian hari Pa Jack pun kawin dengan orang Kwini (almarhumah Alien Kolin, anak Bapak Nasu Kolin).
“Om Dokter Endi ( Hendrikus Fernandez ), mantan anggota DPR dan Gubernur NTT juga dulunya tinggal di sini,” tutur Bapak Aloysius da Silva. Beberapa lainnya juga sukses menjadi pimpinan di perusahaan besar di Jakarta. Anak-anak muda, banyak juga yang pernah berdiam dan mewarnai Kwini. Beberapa nama besar yang juga pernah hidup di sini antara lain Bapak Jan Riberu (tokoh Katolik Indonesia), Om Tinus Sakera (tokoh katolik Nagi), Om Monter (kakaknya Om Kor Monteiro) dan tokoh-tokoh nagi lainnya.
“Dulu, kalau orang merantau ke Jakarta, pasti pertama menginjakkan kakinya di Kwini setelah itu baru diantar ke saudara atau kenalannya,” tambah EVi Kolin. Bisa dimaklumi, karena letak kwini yang strategis, dekat dengan Stasiun Senen, Stasiun Gambir, dan tidak terlalu jauh juga dari pelabuhan Tanjung Priok. Kwini menjadi semacam tempat transit bagi perantau asal Larantuka. Di Kwini juga perantau asal Flotim ini hidup berbaur dengan beberapa keluarga asal Jawa, Batak dan satu keluarga Tionghoa.
Kini, Kwini sudah semakin sumpek dengan menjamurnya pemukiman yang banyak diperuntukan bagi anak kost. Rumah sakit dengan arsitektur Belanda tampak dari tembok dan atap yang disanggah kayu jati asli, berubah fungsi menjadi rumah warga yang berada di depan jalan masuk Kwini No.8. ”Beberapa rumah ini memiliki atap yang sama yang bentuknya melingkar, “ sebut Evi.
Banyak penduduk asli Kwini sudah berpindah ke tempat lainnya dan menyisakan segelintir keluarga yang masih berdiam disini. Tempat nya yang strategis memudahkan orang bepergian ke manapun. Akses kendaraan ke semua wilayah di Jabotabek mudah didapat. ”Mau ke mana-mana gampang. Mau naik mobil atau kereta tinggal pilih,” beber Evi. Meski sudah banyak pendatang yang menetap di sini, tetapi suasana Nagi masih terasa,
Ya, belum lengkap rasanya kalau tinggal di Jakarta tetapi belum mampir ke Kwini. Kalimat ini selalu “diwartakan” orang Nagi di Jakarta. ”Sekali-sekali mampirlah ke Kwini,” pesan Evi menutup perbincangan.
Jakarta,07-10-2012
Ebed de Rosary

Tidak ada komentar:
Posting Komentar