KERUDUNG hitam menutupi kepala Mari Elka Pangestu. Di atas sebuah
sampan, kedua telapak tangannya terus bersiaga, menjaga sebatang lilin
di depannya supaya tidak padam. Siang itu, Jumat (6/4), arus kuat tidak
menghalangi rangkaian prosesi Semana Santa, pekan suci bagi umat
Katolik di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Perahu yang ditumpangi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sering
bergoyang karena terpaan air laut. Empat pria yang mengayuh perahu pun
dengan cekatan melabuhkannya di Pantai Kuce, Kecamatan Larantuka.
Sang menteri kebagian berada di perahu, mengapit patung Tuhan
Yesus Wafat di Salib. Patung dibawa dari Kapela Tuan Meninu, Kota
Rowido, Kelurahan Sarotari Tengah, yang berjarak sekitar 3 kilometer
dari Pantai Kuce. Doa penuh harapan dipanjatkan sepanjang prosesi.
Tidak hanya oleh umat yang berada di sejumlah perahu, tapi juga
peziarah yang menanti di sepanjang tepian pantai. "Semua ornamen yang
disimpan di sejumlah kapela, seperti Tuan Menino, salib, salib Mesias
Anak Allah, patung Tuan Misericordiae, serta patung Tuan Trewa dan
Salib Yesus diantar ke armida, tempat peristarahatan," kata panitia
pekan suci paroki Katedral Larantuka, Besenti.
Patung Tuan Ma
(Bunda Maria) dan patung Tuan Ana (Yesus) dibawa dari kapel
masing-masing ke Gereja Katedral Reinha Rosari untuk diarak
mengelilingi kota, malam harinya. Arak-arakan melalui delapan armida
atau penghentian. Itu ialah lambang perjalanan hidup Yesus, sebelum dia
disalibkan dan mati. Sambil berjalan, warga dan peziarah terus
mendaraskan Salam Maria dan kidung rohani O Vos atau
ratapan derita Yesus. Jumat Agung yang menjadi puncak rangkaian Semana
Santa itu berakhir Sabtu, sekitar pukul 02.45 WIT.
Semana
Santa adalah pekan suci yang berlangsung satu pekan di Larantuka.
Dimulai dari Minggu Palem sampai Minggu Paskah. Ritual peninggalan
bangsa Portugis itu sudah berlangsung selama 500 tahun. Tidak
mengherankan jika semua tradisi, ornamen, dan perlengkapan yang
digunakan dalam prosesi sangat kental dengan warisan Portugis. Bahasa
yang sama juga digunakan dalam doa dan kidung pujian. Sebelum Jumat
Agung, prosesi yang menonjol ialah Rabu Trewa, yang jatuh pada Rabu.
Saat itu, umat mengikuti misa di gereja, menutup jalan raya, memasang
kayu tempat lilin di sepanjang jalan sejauh 6 kilometer, dan membuat
armida.
Ratusan pemuda Katolik melakukan parade bunyi-bunyian (trewa)
di sejumlah ruas jalan di dalam Kota Larantuka. Mereka berparade di
depan Istana Raja Don Lorenzo Larantuka dengan menabuh seng, besi, dan
pipa selama 15 menit. "Tradisi ini bermakna manusia yang penuh dosa
harus bertobat dan kembali ke jalan Allah. Ini saat penting bagi umat
untuk siap menghadapi trihari suci," tutur tokoh Larantuka, Yohanes
Fernandez.
Sehari sebelum Jumat Agung, Kamis Putih, dilakukan
pemberkatan minyak suci, pembaruan imamat dan janji para imam yang
berlangsung di Gereja Katedral. Pada hari yang sama, digelar upacara
Muda Tuan Ma dan Tuan Ana. Pintu Kapela Tuan Ma dibuka dan selanjutnya
penakhtaan Patung Tuan Ma dan upacara cium Tuan Ma. Sore harinya
dilakukan misa di Gereja Katedral yang dilanjutkan dengan adorasi umum Sakramen Mahakudus.
Kamis Putih juga diisi dengan ziarah ke sejumlah situs rohani dan
kapela, di antaranya kapela di tanah Wure, Kecamatan Adonara Barat, dan
Kapela Tuan Meninu di Kota Rewido.
Polemik
Dua
tahun lalu, pada 2010, Semana Santa berlangsung sangat istimewa karena
prosesi itu tepat berusia 500 tahun. Tahun ini, prosesi juga
berlangsung beda karena untuk pertama kalinya diarak patung Tuan Ma
duplikat. Sempat menjadi perdebatan, tetapi secara arif Uskup Larantuka
Monsignor Frans Kopong Kung mampu menengahinya. "Patung asli tidak
mungkin diarak keliling Kota Larantuka. Usia patung sudah lebih dari
lima abad dan kondisinya sudah sangat keropos," tuturnya.
Tidak
sedikit warga yang belum bisa menerimanya. "Penggunaan patung dupikat
Tuan Ma mengurangi kesakralan perayaan. Ada warga yang menjadi apatis
sehingga tidak mau terlibat langsung dalam persiapan fisik perayaan,"
ujar Jefri Ofong, warga Larantuka. Sekalipun ada polemik, seperti
tahun-tahun sebelumnya, Semana Santa di Larantuka masih jadi magnet
bagi ratusan ribu umat Katolik dari berbagai pelosok Indonesia dan
dunia. Mereka datang dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur. Tidak
sedikit juga yang berasal dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali,
Papua, dan Sumatra Utara. Sejumlah pelancong dari luar negeri pun tidak
ingin melewatkannya.
Karena itu, seluruh penginapan di
Larantuka pun penuh. Banyak peziarah yang tidak kebagian penginapan
sehingga harus rela menginap di rumah penduduk. Saat hadir selama dua
hari di Larantuka, Kamis Suci dan Jumat Agung, Menteri Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Mari E Pangestu sepakat Semana Santa harus
dilestarikan. "Di negeri asalnya, Portugis, Semana Santa sudah tidak
ada. Ini bisa menjadi wisata religi kelas dunia," tuturnya.
Seorang
tokoh Larantuka, Bernardus Tukan, mengungkapkan Semana Santa bukan
sekadar prosesi bagi umat Katolik. Dia merupakan peristiwa budaya
religius. "Jauh sebelum agama dibawa masuk ke Flores, warga menyatu
dalam ikatan kultur. Ada budaya Lamaholot yang kami pegang dan
terapkan," kata dia, beberapa waktu lalu.
Karena itu, ketika
masyarakat terpecah karena masalah agama, di Larantuka warga tetap
menyatu. Tidak mengherankan ketika Semana Santa dilakukan masyarakat
Katolik, baik umat Islam, Kristen, Buddha, maupun Hindu selalu
menunjukkan dukungan mereka. Ada hantaran dengan beragam makanan yang
mereka bawa, mulai beras, kelapa, pisang, hingga sayuran, untuk
kebutuhan pesta. Budaya Lamaholot mengajarkan mereka untuk berbagi,
berpartisipasi, dan membangun tekad bersama.
Sumber : floresnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar