Krismon sempat menenggelamkan nama Peter Sondakh dan Grup Rajawali-nya. Namun, lewat serangkaian aksi jual-beli perusahaan dan fokus pada tiga bidang (properti, pertambangan dan perkebunan), Sang Rajawali siap terbang tinggi menjadi global player yang disegani.
Seperti burung Rajawali, Peter Sondakh kelihatan tak pernah lelah
mengepakkan sayap usahanya. Mata dan penciumannya setajam Rajawali, mampu
mengendus peluang bisnis yang layak ditubruk. Tak heran, gebrakannya lewat
perusahaan holding yang didirikannya, PT Rajawali Corporation (RC),
belakangan kerap mengejutkan.
Tak seperti pebisnis lokal lain yang lebih suka membangun bisnis dari
awal, Peter dikenal sebagai sosok pebisnis yang rajin jual-beli perusahaan.
Karenanya, ada orang yang lebih suka menyebutnya sebagai investor ketimbang
pebisnis.
Tak mudah mengungkap sosok Peter ataupun kiprahnya. Bahkan, RC sendiri
sebagai holding company tak memiliki website resmi yang bisa
menjelaskan profilnya. Kendati begitu, publik bisnis sudah mengenal putra
sulung B.J. Sondakh ini sebagai pemilik berbagai usaha di Tanah Air. Mulai dari
bisnis perhotelan, rokok, gedung perkantoran, telekomunikasi dan media, ritel,
farmasi, pariwisata, hingga transportasi. Tak heran, tahun 2006, menurut Forbes,
ia merupakan orang terkaya nomor 12 di Indonesia. Lalu di tahun 2007
peringkatnya naik menjadi nomor 9 terkaya, dan tahun 2008 sebagai orang terkaya
nomor 6 di Tanah Air. Media tersebut mengungkapkan kekayaan pria asal Manado
kelahiran Surabaya 58 tahun lalu ini mencapai US$ 1,45 miliar.
Tak jelas benar kapan Peter pertama kali terjun ke dunia usaha. Namun,
ia tercatat sebagai pemegang saham PT Bumi Modern sejak 1976. Kala itu, Peter
berusia 24 tahun.
Cikal bakal Grup Rajawali dimulai ketika mantan mahasiswa jarak jauh
Universitas La Salle bidang commercial finance ini membesarkan PT
Rajawali Wira Bhakti Utama. Perusahaan ini ia miliki sepenuhnya pada akhir
1993. Melalui perusahaan inilah ia menjadi pionir di dunia televisi swasta dan
mampu membangun stasiun televisi RCTI, bersama Bambang Trihatmodjo, meskipun
saat ini RCTI tidak lagi di tangan Grup Rajawali.Menurut Pusat Data Business Indonesia (PDBI), periode 1976-1996
Rajawali memiliki lima sektor usaha, yaitu: pariwisata, transportasi, keuangan,
perdagangan, dan jasa telekomunikasi. Tak tanggung-tanggung di sektor
pariwisata ia memiliki 16 perusahaan perhotelan (mengembangkan jaringan hotel
bintang empat dan lima) dan kawasan wisata. Di sektor transportasi punya tiga
perusahaan transportasi, yakni: Taxi Express, Rajawali Air Transport (chartered
flight), dan pelayaran feri dengan rute Batam-Singapura (baru-baru ini sudah
dijual Red.). Di sektor keuangan, Rajawali memiliki 7 anak usaha,
antara lain PT Jardine Fleming Nusantara (sekuritas). Adapun di sektor
perdagangan ada 9 perusahaan, misalnya Metro Department Store dan jaringan
ritel farmasi Apotek Guardian. Di sektor telekomunikasi, Rajawali pernah
memiliki Excelcomindo Pratama, yang dioperasikan sejak 1996 (dan kemudian
dijual ke Telekom Malaysia).
![]() |
| Taksi Tiara Express |
Bisnis Peter yang tak kalah penting sebenarnya juga ada di luar lima
sektor tadi. Antara lain, ia merambah industri kimia yang memproduksi polyester
chip dan PET film dengan mendirikan PT Rajawali Polindo. Ia juga
memasuki industri rokok dengan mendirikan PT Bentoel.
Rajawali ikut pula membangun Plaza Indonesia bersama Bimantara,
Ometraco dan Grup Sinar Mas. Bahkan, Peter memiliki andil di PT Gemanusa
Perkasa (perdagangan umum), PT Gemawidia Statindo Komputer (distributor
komputer), PT Asiana Imi Industries (produsen stuff toys), dan PT
Japfa Comfeed Indonesia (sahamnya di sini akhirnya dilepas) .
Berdasarkan catatan PDBI periode 1976-1996 tadi, ada 13 perusahaan yang
diakuisisi dan 6 perusahaan didivestasi. Di sisi lain, grup usaha ini memiliki
andil (penyertaan saham) di 13 perusahaan. Adapun total anak usaha dan
perusahaan terafiliasi yang dimiliki Peter mencapai 49 perusahaan. Sebagai holding
company di lingkungan Grup Rajawali, selain PT Rajawali Corporation adalah
PT Danaswara Utama.
Toh, perjalanan bisnis Peter tak selalu berbuah manis. Seperti
konglomerat yang lain, krismon tahun 1997-1998 ikut memukul bisnisnya. Alhasil,
ia menanggung utang yang luar biasa besar kepada BPPN sebesar Rp 2,1 triliun
yang berasal dari 17 anak perusahaannya. Tak jelas dari mana Peter kemudian
bisa membayar utangnya. Kabar yang kemudian dilansir media, pada 2000 semua
utang tersebut dinyatakan lunas.
Yang pasti, Peter kemudian diketahui sudah melepaskan kepemilikan
sahamnya di Apotek Guardian, RCTI, dan Lombok Tourism. Adapun bank miliknya,
Bank Pos, dibekukan akibat kesulitan likuiditas diterjang krismon.
Ternyata Peter masih mampu melewati krismon di kala beberapa
konglomerat lainnya ada yang gulung tikar. Setelah restrukturisasi grup
usahanya, aksi menonjol yang pertama kali dilakukan adalah mendirikan
NetToCyber Indonesia bergerak di bidang
jasa Broadband Internet, Virtual Private Network, Internet Data Centre, dan
Network Integration pada 2001.
Sayangnya, kiprah perusahaan ini tak begitu terdengar. Setelah itu, kabar
mengenai kiprah bisnis Peter mendadak sepi.
Tinggalkan gelanggangkah Peter? Ternyata tidak. Dalam sepinya,
tampaknya Sang Rajawali mempersiapkan langkah kebangkitannya. Memasuki tahun
2005, Peter membuat kejutan. Aksi korporat yang atraktif adalah ketika ia
menjual 27,3% sahamnya di Excelcomindo yang sebenarnya termasuk salah satu
bintang industri telekomunikasi nasional kepada Telekom Malaysia Group pada 2005. Nilai
saham tadi setara dengan US$ 314 juta.
Langkah divestasi ini berlanjut pada 2007 ketika Rajawali melepaskan
15,97% sahamnya di Excelcomindo senilai US$ 438 juta kepada Etisalat
(perusahaan telekomunikasi Uni Emirat Arab). Dana dari penjualan saham ini
kemudian digunakan untuk membeli 24,9% saham PT Semen Gresik senilai US$ 337
juta dari Cemex (Cementos Mexicanos) pada 2006.
Kepakan sayap Rajawali terus berlanjut, dengan memasuki industri
perkebunan dan pertambangan. Pada 2006, Rajawali terjun ke bisnis perkebunan
sawit yang beroperasi di Kalimantan Timur dan Sumatera yang dalam sub-holding
PT Jaya Mandiri Sukses Group. Sementara itu, industri pertambangan di
Kalimantan dirambah grup usaha ini tahun 2007 melalui PT International Prima
Coal. Lalu tahun 2008, melalui PT Tandan Sawita Papua, Rajawali membuka
perkebunan kelapa sawit seluas 26.300 hektare di Distrik Arso Timur, Kabupaten
Keerom.
Aksi korporatnya yang lebih menghebohkan lagi ketika pada pertengahan
2009, Peter telah melepaskan 56,96% sahamnya di Bentoel senilai Rp 3,35 triliun
kepada British American Tobacco (BAT). “Rajawali sebagai investment company
ingin memfokuskan perhatian pada bidang properti, pertambangan, dan
perkebunan,” kata Darjoto Setyawan, Direktur Pengelola Pengembangan
Bisnis Grup Rajawali, dalam siaran persnya, waktu itu (17/6/2009). Dengan
ketiga pilar bisnis inilah tampaknya Rajawali ingin menjadi global player
yang disegani.
Pernyataan itu memang dibuktikan dengan agresifnya Grup Rajawali
memperluas jaringan hotelnya di kawasan Indonesia seperti jaringan hotel
bintang lima Sheraton di Bali, Lampung, Bandung dan Lombok, serta di Kuala
Lumpur dan Langkawi. Masih ditambah dengan pengembangan Hotel Saint Regis
(Bali) dan Novotel (Lombok).
Bisnis pertambangan pun makin diseriusi Rajawali. Pada 2009, Rajawali
mengakuisisi 37% saham Archipelago Resources (yang mengelola tambang emas)
seharga US$ 60 juta. Kemudian, Rajawali membentuk perusahaan patungan dengan PT
Bukit Asam di Kal-Tim.
Walaupun mengaku ingin fokus pada tiga sektor, kelompok usaha ini
sempat diberitakan mengincar saham PT Garuda Indonesia. Akhirnya memang batal
dan Rajawali memilih join dengan Pemerintah Kamboja mendirikan national
airlines sebagai flag carrier di negara itu.Ya, dengan segudang dana tunai hasil penjualan sahamnya di
perusahaan-perusahaan bonafide itu, Peter memang bisa lebih leluasa kembali
mengepakkan sayap bisnisnya. Terutama guna memantapkan ambisinya menguasai tiga
bidang andalan baru itu.
Di mata Philip Purnama, Direktur Spinnaker Capital, Grup Rajawali
dinilainya sebagai kelompok usaha yang smart dan oportunistis. Mereka
sangat jeli melihat peluang bisnis dan sangat ahli dalam hal akuisisi aset-aset
industri yang potensial, ujarnya. Bahkan, Philip berani menilai, komandan grup
usaha ini, Peter Sondakh, lebih baik dari Warren Buffett. Seakan semua yang
disentuhnya berubah jadi emas, seperti Raja Midas.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar